Minggu, 18 Mei 2014

Never Leave You

Diposting oleh Farida Citra di 21.33

“And yeah, people who said they will always beside you is the same people who will leave you in the end..”

Aku terbangun dari tidurku. Napasku terengah-engah, air mata mengalir deras dari kedua mataku, keringat mengucur deras dari dahiku. Mimpi buruk telah menelanku dalam tidur, membuatku berkeringat ketakutan, membuat napasku sesak karena khawatir, dan membuat mataku basah tak karuan.

Aku takut, aku ingin berteriak, aku ingin memeluk seseorang, aku ingin mendapati sebuah lengan yang siap untuk melindungiku, tapi nyatanya, di depan kedua mataku, hanya ada dinding putih kosong tanpa hiasan, di sebelah tubuhku hanya ada sekumpulan boneka dan bantal guling yang tidak mempunyai nyawa. Di ruangan ini, maupun di dalam kehidupanku, tidak ada seorang malaikat yang dapat melindungiku dari mimpi buruk itu, semuanya telah pergi, dan aku hanya tertunduk lesu di atas tempat tidur, berharap bahwa mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Setidaknya, walau tak ada yang mampu melindungiku, biarkan mimpi buruk itu pergi agar aku tak merasa memliki ancaman di hidup ini.


**


“Baiklah, saya rasa pelajaran Biologi kali ini terasa cukup. Jangan lupa untuk mengerjakan tugas yang saya berikan. Kita bertemu kembali minggu depan. Selamat siang.”

Seiring dengan berhentinya ucapan Pak Guru, bel pun berbunyi, seolah-olah ikut menandakan bahwa pelajaran sudah usai. Para murid di kelas langsung bersorak ria dalam hati masing-masing, ada yang langsung keluar kelas tanpa menunggu Pak Guru keluar terlebih dahulu, ada yang membereskan buku dan meja terlebih dahulu, ada pula yang baru saja membuka matanya dari perjalanannya di pulau kapuk, lalu sisanya bercengkrama ria membahas topik hangat hari ini, hanya aku yang tetap duduk di bangku paling ujung dekat jendela, menyenderkan tubuh ke tembok yang dingin, membuka buku, dan terlelap didalamnya.

Aku terlalu malas untuk berhadapan dengan dunia ini, lebih tepatnya dengan hidup ini. Aku lebih suka menenggelamkan diriku dalam sebuah buku, dan berada dalam kehidupan orang lain yang lebih menyenangkan. Buku adalah tempat pelarianku dari kehidupan yang kelam ini, itulah alasan mengapa aku mencintai buku lebih daripada aku mencintai hidupku sendiri.

“Nan?” Ujar salah satu teman kelasku, menyadarkanku bahwa hidupku ini ternyata masih berjalan.

“Ya?” Aku hanya menengok dan merespon seadanya, malas untuk meladeni seseorang.

“Udah dapet kelompok buat Biologi belum? Emmm, I mean, can we join you?” Tanyanya tanpa basa basi, teman-teman yang berada disebelahnya ikut tersenyum, seolah berharap akan mendapatkan jawaban yes dari bibirku.

Aku ternganga dengan pemandangan yang berada di depan mataku kali ini. Segerombolan cewek eksis nan cantik mau mengajakku untuk bergabung dalam kelompoknya? Apa aku tak salah dengar? Apa kupingku kali ini bermasalah? Tapi, aku merasa semua ini nyata.

“Nandika?” Panggilnya sekali lagi.

“Oh, iya, boleh.” Jawabku akhirnya, tersadar dari lamunan. Ternyata semua ini memang nyata, bukan hanya terasa, tapi memang benar-benar ada.

“Oke, so, lo bisa mulai kerjain itu sekarang, nanti kita sisanya yang ngerjain, gimana? You know, kita kan lagi sibuk latihan karena ada acara untuk pementasan Teater di sekolah.” Ujarnya panjang lebar.

“Oke, itu gampang.” Jawabku mengiyakan.

“Sip, thanks ya!” Ujarnya sambil tersenyum lebar, lalu dia dan segerombolan temannya pergi meninggalkanku.

Aku kembali larut dalam bukuku.

Tubuhku memang berada disini, tapi tidak dengan jiwaku. Pikiranku melayang entah kemana, walau kelihatannya aku sedang konsen membaca buku, tapi sesungguhnya, otakku sama sekali tidak menyerap satu kata pun yang terdapat di paragraf panjang ini. Jiwaku sudah pergi lama, dan hingga sekarang masih belum bisa menemukan arah untuk kembali.

Aku menghela napas dengan kuat, berusaha menguatkan diriku sendiri. Ku usir jauh-jauh segala benang kusut yang berada di otakku, ku baca kembali buku yang berada di tanganku, berharap kali ini otakku bisa konsentrasi sepenuhnya pada paragraf yang ada di depan mataku.

Buku ini menceritakan tentang seorang gadis beruntung yang hidup di kota kecil di Jepang. Dia memiliki segalanya, orang tua yang selalu sayang padanya, parah sahabat yang selalu mensupportnya, hingga binatang pun menyayanginya, sayangnya, ia harus menerima takdir bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, leukimia akan membunuhnya.

Aku sempat berfikir, apa aku harus menjadi sakit terlebih dahulu agar orang-orang disekelilingku peduli padaku?

Tapi kurasa, aku mati pun mereka akan tetap memalingkan wajah dari kehidupanku.

Aku kembali menghela napas, dan kembali larut dalam cerita di buku ini.

Samar-samar terdengar suara di balik jendela, “Apa gue bilang, gampang kan ngeberesin tugas Biologi ini, tinggal samperin si kutu buku itu, rayu dia buat ngerjain semuanya, dan kita tinggal menunggu nilai 90 di akhir, tanpa ngerjain apapun.”

“Yup. Ternyata anak yang berlabel ranking 1 itu isi dalem otaknya gak ada apa-apa. Mudah banget untuk dimanfaatin. Cih, siapa juga yang mau sekelompok sama orang kayak gitu kalau bukan karena tugas yang nyusahin dan cuma dia yang bisa ngerjain.” Kemudian, terdengar tawa keras dari gabungan suara-suara cewek yang baru saja berbicara denganku 5menit yang lalu. Aku memang tidak melihat siapa mukanya, tapi aku masih hafal suara rombongan cewek-cewek itu.

Otakku tidak sebodoh itu untuk langsung lupa dengan suara cempreng nan sok manis itu.

Aku meremas kertas buku yang sedang aku baca, tubuhku bergetar tidak karuan, jantungku berdetak dengan amat cepat, dahiku berkeringat, tangan kiriku mengepal dengan keras. Aku marah. Aku kesal. Dadaku sesak karena menahan amarah ini. Tenggorokanku sakit karena tercekat air mata yang ingin segera tumpah. Aku ingin berteriak dan menampar pipi gerombolan cewek centil itu, tapi yang akhirnya hanya ku lakukan adalah menelusupkan kepalaku dalam buku, dan terisak diam-diam.

Hanya buku yang menjadi saksi dari kemarahan dan kekesalan ini, dan hanya buku yang menjadi pelampisan air mata ini. Hanya buku yang aku punya.

**

Ku langkahkan kaki melewati pagar ini, ku hela napas sekuat mungkin, ku hirup banyak-banyak udara disekelilingku, berharap dengan banyaknya udara yang ku hirup, dada ini tak akan terasa sakit lagi. Tapi ternyata, masih, karena sebenarnya bukan udara yang aku butuhkan, ada sesuatu yang telah lama hilang yang aku butuhkan untuk memenuhi dada ini.

“Sudah pulang, Non?” Sapa Bibi saat membukakan pintu, tak lupa pula menampilkan senyuman yang selalu ia tunjukkan setiap berpapasan dengan setiap orang.

Aku heran, mengapa seseorang masih bisa tersenyum padahal hidupnya tak seindah pelangi, tak senyaman hotel bintang lima, dan tak juga sebahagia happy ending di setiap novel yang aku baca. Tapi seseorang yang berada didepanku kali ini, ia masih tetap menunjukkan senyuman terbaiknya, tanpa rasa lelah atau sakit yang ia tunjukkan di raut mukanya, padahal aku tahu, Bibi pasti lelah mengurusi segala urusan yang berada di rumah ini. Lalu mengapa ia masih tetap terenyum?

“Biar Bibi bawakan tasnya, Non.” Ujarnya sambil menarik tasku, menyadarkanku dari lamunan.

Aku hanya tersenyum, dan menampik tangannya. “Aku bisa sendiri, Bi. Mama papa udah pulang?”

Bibi menatapku lama, kemudian senyum itu kembali terpancar di wajahnya, “Tadi Ibu sudah pulang, tapi kemudian pergi kembali. Katanya ada arisan penting, Non.”

Aku hanya menghela napas mendengar jawaban Bibi. Mama lebih mementingkan arisan yang katanya penting itu daripada menemaniku makan siang, padahal Mama sudah berjanji akan pulang sebelum aku sampai rumah.

Aku benci orang dewasa, setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak pernah menjadi nyata, itu hanya omongan belaka. Ia hanya pura-pura, kata-katanya hanyalah sebuah cara agar membuatnya terbebas dari rengekan anak muda. Aku benci orang dewasa, mereka tidak bisa dipercaya.

Seharusnya aku tahu dari awal bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Mama hanya akan menjadi sebatas omongan belaka. Seharusnya aku tidak berharap apapun dari sebuah kata yang belum bisa dipercaya.

Aku meninggalkan Bibi yang masih berdiri di samping meja makan, ku langkahkan kakiku dengan tergesa-gesa, kemudian tanpa sadar aku berlari, andai aku bisa, aku akan berlari sejauh mungkin untuk keluar dari kehidupan ini.

“Non, mau kemana? Makan dulu!” Teriak Bibi dari dalam rumah.

“Aku gak lapar, Bi.” Ujarku, semoga Bibi bisa mendengar suaraku yang parau ini. Aku kembali berlari melewati gerbang rumah, melangkahkan kakiku entah kemana, aku hanya ingin pergi.

Atau mungkin, keluar dari kehidupan ini dan mencari kehidupan yang baru, di alam lain.

**

Matahari sudah tergelincir ke arah barat, langit sudah berubah warna, artinya, kehidupan malam sudah dimulai. Bintang-bintang di atas langit itu tertutup oleh pukatnya awan hitam, membuat langit malam ini terasa gelap, dan mencekam.

Aku tertunduk di atas bangku taman yang mulai sepi pengunjung, memangku tas sekolahku, dan menerawang ke suatu arah yang tidak jelas. Tubuhku terasa kucel dan kumel, seragam sekolah yang sedari tadi pagi kukenakan masih terpampang di tubuhku, ditambah dengan rambut yang sudah kusut karena tertiup angin, dan raut muka yang amat menyedihkan karena terdapat bekasan air mata yang berada di pipi.

Aku hanya menghela napas, dan terpejam, berharap gelapnya malam ini akan menelanku, lalu aku bisa menghilang dari peradaban hidup yang pahit ini.

Aku lelah.

Aku lelah.

Aku lelah.

Tuhan, kau dengar aku? Aku lelah, mengapa tidak kau ambil nyawaku? Mengapa kau membiarkan aku merasakan sakitnya semua ini? Mengapa, Tuhan? Kau marah padaku?

Lagi-lagi, air mata menetes di pipiku, aku kembali terisak, dalam sunyinya malam.

“Astagfirullah, Non, Bibi cari kemana-mana ternyata ada disini.” Suara khas itu menyadarkanku bahwa ternyata aku masih hidup di dunia ini.

Aku hanya menengok sekilas, melihat raut wajah khawatir dari muka Bibi, dan sedikit mengusap air mata di wajahku.

Wajah Bibi terlihat khawatir? Apa aku tidak salah lihat? Apa ini adalah efek dari sedikitnya penerangan di malam yang gelap ini? Atau karna mataku yang menjadi buram akibat terlalu banyak menangis?

“Masihkah ada yang peduli padaku?” Aku tertawa sinis dalam hati, menertawai nasibku sendiri yang begitu kelam dan gelap, lebih kelam dari langit malam ini.

“Non baik-baik saja?” Tanya Bibi sambil meraih pundakku.

Aku kembali meneteskan air mata. Aku selalu lemah jika ditanya “Ada Apa” atau “Apakah kau baik-baik saja” disaat segalanya terasa begitu menyakitkan.

Bibi terdiam, tubuhnya mematung. Mungkin terkejut melihat pemandangan yang berada di depan matanya.

Tapi kemudian, bibi melangkah, dan ikut terduduk bersamaku di bangku besi taman kota yang terasa sangat dingin.

“Non marah pada Ibu?” Tanya Bibi dengan sedikit nada ragu yang terdengar di kedua telingaku.

Aku hanya menengok, menatap Bibi dengan sinis, “Aku marah pada semuanya. Pada Mama, Papa, teman-teman, sekolah, pada dunia ini, pada takdir ini, pada Tuhan.”

“Astagfirullah, Non.. nyebut. Tuhan itu Maha Baik lagi Maha Penyayang. Sombong namanya jika kita marah pada Tuhan, artinya, kita menyalahi segala yang telah Tuhan berikan.” Ujar Bibi sambil mengelus punggungku, seolah-olah ingin mentransfer sedikit kekuatan yang dia punya.

“Tuhan Maha Penyayang? Gak Bi, Dia gak sayang aku. Dia benci aku, Dia marah padaku, makanya Tuhan memberikanku kehidupan seperti ini, kehidupan yang tidak bisa aku nikmati sama sekali.”

“Istigfar, Non... Istigfar. Tuhan sayang sama Non, begitu sayangnya hingga Tuhan memberikan cobaan hidup pada Non, karena Tuhan tau, Non adalah gadis yang kuat dan bisa menghadapi cobaan ini.”

“Nyatanya aku gak bisa. Lalu kenapa Tuhan tetap memberikanku cobaan ini?”  Tanyaku setengah berteriak. Dadaku sesak karena tersumbat oleh rasa kesal yang sedari tadi memuncak, tenggrokanku sakit karena tercekat oleh air mata yang tertahan.

Bibi hanya terdiam, bibirnya terkunci rapat, aku tersenyum sinis melihat Bibi yang mati kutu atas pertanyaanku.

“Bibi gak bisa jawab kan, karena memang semua yang aku katakan itu benar.”

“Karena Non belum mencoba untuk menyelesaikan dan melewati cobaan ini, maka dari itu Tuhan tetap memberikan Non cobaan ini.” Jawab Bibi akhirnya, sambil tersenyum lembut ke arahku.

Kali ini, aku yang terdiam mendengar jawaban Bibi. Seluruh kata-kata yang terserap dalam memori otakku tiba-tiba hilang begitu saja, aku kehilangan seluruh vocabulary untuk menampik jawaban Bibi.

“Non... non ini beruntung. Non punya segalanya, punya orangtua yang sayang sama Non, sekolah di sekolah yang pendidikannya terjamin, sehat walafiat, punya fisik yang bagus, dan mempunyai masa depan yang terjamin. Harusnya Non bersyukur, bukan malah menyalahkan Tuhan.” Ujar Bibi sambil memandangku dengan lekat.

“Apa bibi bilang? Aku beruntung? Bagian mananya yang beruntung saat aku gak punya siapa-siapa? Gak ada satu orangpun yang bisa aku jadikan tempat untuk berbagi, gak ada lengan yang siap menangkapku saat aku terjatuh, dan gak ada pundak yang siap aku jadikan tempat untuk menangis. Gak ada, Bi. Gak ada, aku gak punya siapa-siapa. Cuma rasa sepi yang menemaniku setiap hari.” Aku langsung menampik pernyataan Bibi dengan suara setengah berteriak tapi terdengar sedikit parau.

Bibi masih menatapku dengan lekat, dan tersenyum lembut ke arahku, kemudian berkata dengan amat lembutnya, “Non masih mempunyai Tuhan yang selalu berada di setiap langkah kaki non berpijak.”

“Apa? Hahahahaha. Konyol, Bi. Pernyataan itu sama sekali gak masuk akal. Tuhan sama sekali gak pernah berada di sampingku, Tuhan malah menertawaiku dari atas sana karena aku menderita, Tuhan senang melihatku menangis meratapi kesepian ini, Tuhan terlalu gembira menontonku menghadapi cobaan yang berada di hidup kelamku ini.”

“Istigfar, Non, Tuhan bisa murka.”

“Biarin, biar Tuhan sekalian ambil nyawaku, biar Tuhan dan seluruh umat manusia di dunia ini bisa tertawa dan gembira melihat kepergianku!” Ujarku kali ini dengan suara yang super sinis dan keras.

“Astagfirullah Non!” Suara Bibi tak kalah keras dengan suarku, Bibi berteriak, mungkin dia sudah kesal melihatku seperti ini.

Aku terdiam mendengar bentakan yang keliar dari mulut Bibi. Aku tertunduk lesu, dan lagi, air mata ini menetes, seolah-olah persedian air mataku tak akan pernah habis, sama seperti cobaan hidup dalam hidupku yang tak ada akhirnya.

“Aku capek, Bi.... capek. Aku lelah....” Suara yang keluar dari mulutku terdengar parau. Aku kembali terisak, kali ini lebih keras lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan seluruh rasa sakit yang sudah lama mengendap dalam hati. Aku ingin seluruh dunia mendengar suara tangisku, aku ingin mengatakan bahwa aku lelah.

Bibi langsung memelukku, membiarkan aku menangis di pelukannya, membiarkan aku terisak di pundaknya, membiarkan aku membagi rasa sakit ini dengannya. Kemudian Bibi mengelus punggungku, menransfer energi positif ke dalam tubuhku, dan berbisik ditelingaku,

“Mau dengar tips agar hidup ini lebih terasa bahagia, Non?”

Tangisku sedikit mereda, rasa sesak didadaku pun sedikit demi sedikit mulai tak terasa, lubang-lubang mengaga itu sedikit demi sedikit sudah mulai tertutupi. Aku menangguk menjawab pertanyaan Bibi.

“Kuncinya cuma satu, terus bersyukur.” Jawab Bibi sambil tersenyum.

Aku hendak ingin menjawab, tapi Bibi memotongnya dengan cepat,

“Caranya ada banyak, Non. Terus beribadah pada Tuhan, agar kita semakin dekat pada-Nya, niscaya kita tidak akan pernah merasa kesepian. Dan ini adalah cara yang paling ampuh, tetap tersenyum walau hidup ini menimpah kita terus menerus.”

“Jadi ini alasan Bibi mengapa tetap terus tersenyum?” Tanyaku akhirnya.

“Ya. Karena Bibi percaya, dengan tersenyum, energi positif akan datang memasuki tubuh kita, lalu membuat kita berfikir dan bertindak lebih jernih. Karena dengan tersenyum, seberat apapun masalah yang kita hadapi, lama-kelamaan akan hilang seperti debu yang tertiup angin. Karena saat kita terseyum, kita akan merasa bahagia, dan saat kita bahagia, kita hanya akan mengingat bahwa hidup ini indah.”

“Oke, nanti aku akan lebih sering tersenyum.” Ujarku sedikit bercanda dan tersenyum. Aku merasakan diriku lebih baik lagi, dadaku sudah tak terasa sesak, juga dengan hatiku, sudah tak terasa begitu sakit.
Sudah lama sekali aku merasa tidak tersenyum, aku selalu merengut menyalahi takdir hidup ini. Pantas saja aku tidak pernah merasa bahagia.

“Dan satu lagi Non,”

Aku menengok memperhatikan Bibi.

“Percayalah selalu bahwa Tuhan selamanya akan bersama kita. Tuhan akan selalu berada dihati kita dan selalu berada di setiap tempat kaki kita terpijak.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Bibi. Hatiku terasa sedikit tenang, energi-energi negatif itu sedikit demi sedikit terbang tertiup angin seiring dengan seringnya aku menarik sudut atas bibirku.

Bibi benar, tersenyum adalah obat paling handal untuk mengobati segala jenis penyakit, karena senyuman yang terlukis dari bibir kita akan menghasilkan beribu-ribu kekuatan untuk tetap menjalankan hidup ini.

“Mari, Non, kita pulang.”

Aku berdiri dan melangkah menjauhi bangku taman kota. Terpejam dan tersenyum merasakan angin yang menyusuri setiap kulitku. Aku merasa lebih tenang... dan damai.

Aku membuka mataku dengan bibir yang tersenyum, dan mataku langsung mengarah pada satu bintang yang paling terang diatas langit sana.

“God, you will never leave me, right?” Tanyaku tersenyum, dan bintang itu berkelip lebih terang, angin pun bertiup lebih kencang. Seolah-olah Tuhan ingin membuktikan bahwa Ia selalu berada di setiap tempat di mana kakiku berpijak.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog,My World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea