Minggu, 29 Juli 2012

cinta : 2 = 100.000 kawah luka

Diposting oleh Farida Citra di 01.49
"Gue gak ditawarin minum nih?" Tanya Davin tanpa basa-basi. Sudah hampir 10 menit sejak dia mengetuk pintu rumahku, dan sampai sekarang hanya kusuguhi sebuah keheningan, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Tidak ku ajak ngobrol, apalagi ku tawari minum.
"Eh iya. Mau minum apa?" Tanyaku reflek, tersadar dari lamunan yang sedari tadi aku lakukan.
"Lo kenapa sih, Ses?" Tanya Davin lagi. Dia ini termasuk tipe orang yang langsung mengungkapkan pikirannya, tidak peduli dengan adat basa-basi.
"Tadi lo kesini katanya mau minta bantuan, kan? Ada apa?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya, entah mengapa aku belum siap untuk menjawab pertanyaan Davin tadi.
"Oh iya! Jadi gini, gue disuruh bikin cerita pendek gitu tentang pengalaman pribadi." Jelas Davin.
"Ya, terus?" Tanyaku tidak antusias.
"Elo tau sendiri kan, gue paling gak bisa ngerangkai kata-kata puitis gitu. Nah, gue bingung mau minta bantuan ke siapa. Ke temen-temen cowok gue kan gak mungkin, mereka satu tipe sama gue. Ya, elo kan satu-satunya temen cewek gue..yang paling bisa gue percaya." Jelas Davin lagi sambil menampakkan gigi yang dipagari dengan warna biru itu. Ya, aku tahu. Satu-satunya teman perempuannya adalah aku, selanjutnya adalah Mamanya. Dia memang tidak pernah tertarik dengan teman-teman perempuan disekolahnya. Dia bilang, mereka itu seperti artis, hobbynya ber-drama ria.
"Jadi?" Tanyaku datar.

 "Tadinya sih gue mau minta tolong ke elo. Tapi ngeliat keadaan lo lagi kacau gini, gak jadi deh. Ntar yang ada lo tambah stress lagi." Ujar Davin. Hah, ternyata aku tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Tetap saja dia akan membahasnya lagi, memancing ku agar mengatakan apa yang terjadi.
"Gue cuma stress karena mikirin hasil UN dan akibat dari tes SMA kemaren. I'm fine." Jawabku menyakinkan. Berusaha sedikit menangkat sudut bibir walau agak terpaksa.
"Are you sure?" Tanya Davin masih curiga. Tidak mudah bagiku menyembunyikan sesuatu dari sahabat kecilku ini. He knows everything about me.
"Lo mau bikin cerita tentang apa emang?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraannya (lagi).
"Gue juga bingung tuh, Ses. Kerennya cerita apa ya?"
Aku ikut memutar otak, mencari cerita unik yang bisa digarap menjadi sebuah cerita pendek. Tapi, seberusaha apapun aku mengalihkan pikiran, tetap saja hanya masalah -yang sekarang membuatku kacau balau- selalu terlintas.
Sekuat apapun aku berusaha untuk mengalihkan masalah ini, tetap saja ujung-ujungnya terus teringat. Lukanya sudah menempel dihati dan sulit untuk disembuhkan.
"Ah, gue tau! Gimana kalau tentang pengalaman lo, Tama, dan ldr? Keren kan tuh! Gimana awal kalian ketemu, gimana antusiasnya lo nyeritain tentang dia, gimanya susahnya untuk menahan rindu pada satu sama lain, dan kisah seru lainnya. Gimana? Keren gak sih ide gue?" Seru Davin secara tiba-tiba, menghentikan lamunanku. Dia sangat antusias sekali. Bisa kulihat lewat binar-binar yang terpancar lewat mata indahnya itu.
Aku hanya tersenyum sinis mendengar idenya. Mendengar namanya, sudut bibir atasku langsung terangkat, otakku tidak bisa berhenti memakinya, begitupun hatiku, setiap kali mendengar namanya, luka yang sudah dalam itu menjadi lebih dalam lagi. Tama.... seseorang yang sangat berarti bagiku, seseorang yang aku cintai sekaligus aku benci, seseorang yang sudah mengubah semua prinsip hidupku, seseorang yang memberiku kenangan manis dan pahit yang selalu ingin kulupakan, dan seseorang yang sudah memberikan luka dan bekas luka yang sulit dihilangkan.
"It's over now." Jawabku sambil mencoba tersenyum. Menjelaskan bahwa aku baik-baik saja, walau nyatanya tidak seperti itu.
Davin terdiam. Hanya ada wajah kaget yang tergambar dimukanya. "LO PUTUS? KENAPA? TELL ME, NOW!" Tanya Davin dengan suara layaknya 10 orang wanita.
"Kita udah gak cocok. Itu aja, sih." Jawabku sambil tertawa. Entah tertawa untuk apa, mungkin untuk menutupi lubang-lubang yang menganga di hati yang sudah menjadi kepingan ini.
"Gak mungkin banget cuma karena itu lo sampe kacau gini. Kenapa? Siapa yang mutusin? Dia? Lo diapain sama dia?" Tanya Davin berturut-turut. Hah, seharusnya aku tidak perlu memberitahunya, pasti dia tidak akan mengintrogasiku seperti ini. Aku masih belum siap untuk menceritakannya.
"Gue. Gue yang salah, bukan dia, Vin. Udah gue bilang kan gue stress karena mikirin SMA." Ujarku berbohong lagi.
"Gue kenal lo bukan cuma 1-2 bulan, Ses. Gue kenal lo sejak lo masih pake popok." Ujar Davin tetap tidak mempercai apa yang aku katakan.
Ya, aku tahu tidak ada gunanya berbohong dengan orang yang sudah mengenalku sejak jaman kami masih bermain pasir. Sehebat-hebatnya aku menyembunyikan sesuatu, sahabatku ini pasti akan tahu tanpa aku beri tahu.
"Dia................. udah punya pacar. Gue cuma dijadiin selingkuhannya. Hahahahahahaha." Jawabku sambil tertawa. Bukan, bukan karena itu lucu, tapi aku sedang menertawai diriku sendiri. Menertawai kebodohanku hingga gampang sekali aku ditipu oleh buaya darat itu.
"Bangsat." Hanya itu komentar Davin. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, seolah-olah dia menahan amarah. Tidak ada kata-kata puitis yang di berikan, hanya tatapan yang menenangkan.
Aku terdiam, menundukkan kepala, dan menahan air mata agar tidak berlinang. Ternyata sulit untuk tidak menangis disaat gempa bumi sedang terjadi dihatiku. Aku ingin bertahan, berusaha untuk tetap kuat, tapi ternyata gempa bumi lebih kuat dari diriku. Sekarang hatiku runtuh, hanya menyisakan puing-puingan yang tidak ada artinya lagi. Yang dulu hatiku sangat kokoh, tapi ternyata saat diberi pengkhiantan, hatiku bisa rubuh juga. Cinta yang dibalas pengkhiantan hanya akan memberikan luka yang selamanya akan terus berbekas. Walau nanti luka ini sudah sembuh, dan tidak terasa sakit lagi, tapi bekasnya akan selalu tetap berada disana. Menandakan bahwa aku pernah jatuh dilubang pengkhiantan.
"Kalau lo mau nangis, keluarin aja. Gak usah ditahan." Ujar Davin masih menatapku.
Hening.
Pertahananku melemah mendengar perkataan Davin tadi, melihat matanya yang penuh sorot rasa perhatian, rasanya aku hanya ingin menangis. Membagi sakit ini padanya. Memberitahunya bahwa aku tidak baik-baik saja, aku terjatuh, dan aku membutuhkan seseorang untuk membuatku bangkit. Aku membutuhkan teman cerita, teman yang bisa menyemangatiku.
Aku sibuk menata hatiku agar tidak terlalu hancur, berusaha mencari oksigen agar tidak terlalu sesak. Dan Davin, dia hanya menatapku kasihan sambil seolah-olah memikirkan sesuatu.
"Rasanya tuh aneh, Vin.. Sakitnya gak bisa didefinisikan lewat sebuah kalimat. Dada gue sesak setiap kali nginget hal itu. Hati gue seolah-olah menjerit kesakitaan. Gue jadi gak mood ngapa-ngapain. Rasanya hampa, kosong, sepi. Tubuh gue disini, tapi enggak dengan jiwa gue. Kalau pun ketawa atau senyum tuh rasanya awkward, terlalu munafik. Gue cuma bisa nangis, nangis, nangis, dan nangis."
"Gue bodoh, ya? Udah dikhianatin tetep aja nangisin dia. I feel like I'm a very stupid person in this world. Gue bego karena gue terlalau terbuai sama kata-kata manisnya. Gue tolol karena percaya buat nyerahin hati gue ke orang yang baru gue kenal selama 4bulan."
"Gue kesel sama diri gue sendiri, Vin.. Dia udah memperlakukan gue kayak gini, tetep aja rasa sayang ini gak bisa hilang! I love him, but also I hate him. Gue pengen ngebunuh lalu ngebuang perasaan ini jauh-jauh, tapi rasanya susah banget buat ngilangin dia dari hati dan pikiran gue, dan gue benci itu. Gue pengen lupain dia! Gue gak mau nginget-nginet hal ini lagi! Tapi, semakin gue berusaha keras ngelupain dia, semakin gue inget dia terus.." Kataku sambil terisak. Aku membenci diriku yang lemah, seharusnya aku bisa tegar dan tidak menangisinya terus menerus.
"Lo tau dari mana kalau dia udah punya cewek?" Hanya itu respon dari Davin. Wajahnya berubah, tidak sesemangat tadi. Mungkin dia juga merasakan luka yang aku rasakan.
"Ceweknya ngelabrak gue di BBm. Dia ngatain gue perebut cowok orang. Hahaha" Aku tertawa meningat hal itu. Bukan tertawa bahagia, tapi tertawa menyesali betapa bodohnya aku.
"Awalnya gue gak percaya, tapi pas gue tanyain ke Tama, dia jujur dan bilang iya.. Dan disitu, gue langsung diem, dan bodohnya gue nangis. Rasanya tuh hati gue kayak retak, kemudian hancur berkeping-keping.."
"Terus si bangsat bilang apa ke elo?"
Bangsat. Hahahaha panggilan yang cocok untuk seorang buaya seperti Tama. Tapi, tetap saja aku tidak bisa memanggilnya seperti itu, dia masih seseorang yang aku sayang, he’s still my little porcupine. Aku jadi teringat mengapa aku memanggilnya seperti itu, karena rambutnya yang mirip landak. Aku juga masih ingat setiap panggilan sayang yang dia berikan.. Aku masih mengingat setiap detail tentangnya, awal perkenalan kami, suaranya yang lembut disetiap percakapan telepon, kata-katanya yang manis, yang selalu bisa membuatku hari-hariku penuh dengan warna.
Hah! Aku membenci otak ini. Mengapa disaat yang menyakitkan seperti ini, dia cepat sekali untuk meningat. Why my brain is too easy to remember bout’ all the things that i want forget?
"Coba kamu lihat bulan purnama di luar deh, Mut. Itu indah sekali." Ujar Tama waktu itu saat kami berbincang mesra ditelepon. Dia biasa memanggilku dengan Marmut, entah kenapa, tapi dia bilang Marmut itu binatang mungil yang paling menggemaskan.
Aku masih mengingat suara lembutnya, setiap dia memanggilku “Marmut.”, setiap dia berbicara tentang apa yang dia sukai. Dan aku masih mengingat bagaimana tenangn dan bahagianya aku saat mendengar suaranya.
"Kamu suka banget sama bulan purnama ya?"
"Siapa sih yang gak suka. Bulan purnama itu indah, unik, dan sempurna. Memang kamu gak suka?"
"Suka tapi kayaknya gak selebay kamu deh. Hahahaha."
"Tapi aku juga gak mencintai laut selebay kamu, sampe kamu rela hanyut asalkan bisa melihat laut selamanya."
"Kalau liat laut itu aku bawaannya suka tenang sendiri, jadi lupa sama masalah. Apalagi ada ikan-ikan yang lucu, terus kita bisa liat langit yang indah dari dekat banget, seolah-olah langit diatas kita."
"Kamu nih sok tau. Eh, yang, tau gak kenapa aku suruh kamu liat bulan purnama itu?"
"Gak, kamu belum ngasih tau."
"Karena walaupun kita berada di kota yang berbeda, dihalangi oleh ratusan kilometer jarak, tapi kita masih bisa melihat satu hal secara bersamaan, sambil tersenyum memikirkan satu sama lain, berbicara seperti ini, seolah-seolah kita sedang memandang bulan bersama. Anggap saja aku ada disebelahmu, ya." Ujarnya waktu itu.


Rasanya waktu itu aku bahagia sekali, bahagia karena memilikinya. Bahagia bisa mendapatkan orang sebaik dirinya, tapi ternyata semua itu salah. You know what the worst feeling for fall in love with wrong person? When you believer he’s right, then you realize he’s not.
"Hahahaha. Gombal. Eh, aku bilang ke bulan itu kalau aku sayang banget sama Aditya Tama."
"Aku juga sayang banget sama kamu. I don't wanna lose you, Raden Sessy Juliana."
Aku masih mengingat setiap kata yang terucap dari bibir kami saat itu, setiap senyuman yang saat itu muncul dibibirku, setiap kata sayang yang dia lontarkan, suaranya yang lembut, pembawaannya yang tenang, gombalannya yang romantis, lawakannya yang garing, setiap cerita disekitarnya yang konyol. Aku masih ingat, dan aku merindukan semua itu, terutama semua tentang dirinya. 
Aku hanya mengusap air mataku, mencoba untuk tersenyum, tapi ternyata tersenyum tidaklah bisa membuat hati ini merasakan kebahagiaannya yang dulu. Kebahagiaanku, alasan mengapa dulu aku selalu tersenyum sudah pergi seiring kepergian-nya. Kebahagiaan itu sudah terbang jauh meninggalkan pemiliknya yang bodoh ini. Membuat hati sang pemiliknya hampa, dan merasa kesepian. Membiarkan hati itu remuk dan menjadi keping-kepingan yang sangat hancur.
"Ses?" Panggil Davin dengan raut wajah khawatir. Mungkin dia bingung melihatku terdiam kemudian menangis tanpa alasan yang jelas.
“Vin, lo jawab yang jujur ya. Sebenernya salah gue itu apa? Kenapa disaat gue ngerasa dia yang terbaik, dan saat gue bener-bener sayang, gue udah ngasih seluruh hati gue ke dia, tapi kenapa dia malah jahat sama gue? Kenapa dia malah ngebagi hatinya? Kenapa dia ngembaliin hati gue lagi, dan itu udah gak utuh. Hati gue udah hancur, remuk, dan udah gak penting bagi dia. Kenapa vin?! Kenapa?” Jawabku sambil terisak histeris.
“Rasanya tuh sakit banget, Vin.. Sakit banget. Gue bodoh banget ya? Seharusnya gue gak boleh ngasih semua hati gue ke dia..”
"Lo gak bodoh. Dia yang bodoh karena udah nyia-nyiain lo." Ujar Davin seraya memelukku. Dan aku menangis terisak di dadanya, mencurahkan segala kesakitan yang aku rasakan.
"Kalau lo emang sakit, bilang sakit. Kalau lo butuh orang lain, bilang. Jangan ketawa, dan tersenyum seolah lo baik-baik aja. Ungkapin semua yang lo rasain. Seneng, sedih, apapun yang lo rasain. Jangan pendem masalah lo sendirian. Lo bisa bagi-bagi rasa sakit lo itu ke gue! Gue gak akan pernah ngebiarin lo ngerasain sakit sendirian. Ses, lo gak sekuat yang lo pikirin. Sekuat-kuatnya pondasi rumah jika diterpa gempa dan tsunami, pasti akan hancur juga. Begitu juga dengan hati lo, sekuat-kuatnya hati lo jika terus disakiti akan hancur juga. Telinga, mata, pelukan ini, dan seluruh organ tubuh gue bakal selalu ada jikala lo membutuhkan seorang teman." Ujar Davin menenangkan. Dia terus mengusap punggungku, seolah memberikan kekuatan dan ketenangan.
Aku terus terisak di dada bidang milik Davin, memeluknya erat, merasakan setiap napas dan ketenangan yang dia berikan.
Tapi otakku masih memikiran Tama. Tidak ada yang bisa menggantikannya diotak dan hatiku. Dia akan selalu berada disana, entah sampai kapan. Hatiku masih tertinggal jauh di Tama, jaraknya masih terlalu jauh untuk bisa kembali ketempatnya semula.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog,My World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea