Minggu, 25 Mei 2014

Missing You Like A Moron

Diposting oleh Farida Citra di 06.55
Aku baru saja menghempaskan tubuh lelahku di atas kasur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam, itu berarti aku hampir menghabiskan setengah jam hidupku dalam kesibukan. Pantas saja aku merasa tulang-tulang tubuhku sebentar lagi akan copot, dan terpotong terpecah belah. Aku bergidik sendiri membayangkan tulang-tulang tubuhku yang nanti akan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada otot yang menyelubunginya.
Aku buru-buru memejamkan mata, berusaha mengenyahkan segala pikiran gila nan horor yang sedang menghantui otakku. Aku ingin cepat-cepat menuju pulau kapuk, hidup tenang dan damai di sana, sambil diselingi mimpi indah yang tak mungkin ku dapatkan dalam hidupku ini.
Namun, bukannya aku terbang ke alam mimpi, aku malah terseret ke dalam kenangan masa lalu. Kenangan yang dalam hitungan detik sudah mampu membunuhku perlahan-lahan, menusuk relung hatiku, membuatnya semakin terluka, dan menyeretku ke dalam arus kesedihan.

Aku benci dengan otakku yang tiada henti-hentinya memutar ulang segala kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dulu. Aku benci dengan hatiku yang masih menyimpan sepercik harapan tentang dirinya, yang telah menorehkan alkohol ke dalam lukaku, membuatnya begitu sakit dan kemudian dia pergi. Aku benci diriku sendiri yang tak mampu mengobati lukaku sendiri, dan malah membuat diriku semakin terluka dengan terus mengenangnya. Dan yang paling ku benci adalah, pria itu, seseorang yang sudah mengambil hatiku kemudian mengembalikannya dalam keadaan tak layak pakai. Seseorang yang mengacak-ngacak dan melukai relung hatiku, yang hingga sekarang aku tak ketahui kabar tentang dirinya.
Aku benci dirinya. Aku benci karena saat aku pertama kali benar-benar jatuh cinta, seseorang itu malah akhirnya membuatku tidak bisa percaya pada apapun, karena luka yang kurasakan lebih hebat daripada kebahagiaan yang kurasakan saat jatuh cinta.
Aku membenci dirinya sebesar aku mencintai dirinya. Tak peduli seberapa seringpun aku mengutuknya, dia akan selalu menjadi satu-satunya orang yang berada di hatiku, satu-satunya orang yang selalu menghiasi impian masa depanku. Dan dia, satu-satunya orang yang mampu mengobrak-abrik hatiku, dan meredupkan segala cahaya pada setiap harapan yang dulu aku punya.
Hah, shit, brain, can you just shut up and don't remind me anything about him!
Just, damn, it, heart! Don't hurt yourself for the second time! You already broken!
And, fuck you, stupid eyes, why you always crying? Can you be stronger? He doesn't deserve the tear!
Aku benar-benar merasa seperti orang bodoh saat ini. Orang bodoh yang mencintainya begitu amat, dan merindukannya begitu sangat.

Hatiku benar-benar terasa perih saat ini. Kenangan tentang dirinya bagaikan perasan jeruk nipis yang diperas ke dalam luka yang belum sepenuhnya sembuh. Terasa pedih dan begitu amat menyakitkan.
Kurasakan rasa sesak didalam dada akibat menahan air mata yang sudah mencekat di kerongkongan. Aku tidak ingin menangis, tidak untuk kesekian kalinya. Aku tidak ingin membuat diriku terluka, tapi aku tidak bisa, semakin aku berusaha melupakan segala hal tentangnya, semakin aku melukai diriku sendiri.
Tak ada yang bisa kuperbuat selain menangisi kesedihan ini. Segalanya sudah jelas, dia sudah benar-benar pergi, dan disini, aku masih tak rela, karena aku masih berharap dia akan kembali, walau kutahu, itu mustahil.
Aku merasakan tetesan air mata di pipi kiriku, bukti bahwa hatiku benar-benar tertoreh luka.
So here I am, sleeping with a broken heart, and trying to heal the pain, but I ended crying.
The more I try to forget, the more I feel hurt. Forgetting him is like stabbing my own self with a knife. To forget him, I have to kill myself first, and I can'tkill myself, either forgetting him.
Aku menghela napas sekuat tenaga, berusaha menguatkan diriku sendiri, air mata memang sudah berhenti mengalir, namun bukan berarti lukanya sudah menghilang. Luka itu masih tetap berada disana, menunggu untuk disembuhkan.
Ya Tuhan.... Betapa aku amat merindukan laki-laki itu, laki-laki sialan yang sudah melukaiku. Mengapa aku tidak bisa benar-benar membencinya dan mengenyahkan dirinya dari pikiranku?
Aku menghela napas, mengambil handphone di bawah bantal, kemudian menekan nomor-nomor yang seharusnya sudah aku lupakan.
Aku merindukannya sebesar perasaan sakit yang ku rasakan. Aku rindu dengan suara tawanya yang renyah, kelakuan konyolnya, sifat cueknya, genggaman tangannya, pelukan hangatnya, dan aku begitu merindukan dirinya dulu yang mencintaiku.
Aku tahu, tak seharusnya aku melakukan apa yang akan kulakukan ini. Namun, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku begitu merindukannya, dan bodohnya, aku masih menyimpan sepercik harapan bahwa mungkin segalanya bisa kembali, dan dia mungkin saja menginginkan hal yang sama.
Pikiran yang teramat tolol memang. Tapi hanya itu satu-satunya cara yang dapat mengobati luka yang begitu dalam ini. Aku tidak bisa berbohong, aku memang masih berharap, aku menyimpan harapan itu jauh di dasar hatiku, dan hanya itulah sekarang yang aku punya. Sepercik harapan yang cahayanya kini kian meredup.
Aku menekan tombol dial, kemudian memejamkan mata, merasakan nada dering di ujung sana.
Dapat kurasakan jantungku berdetak begitu cepat dari biasanya, dan darah dalam diriku mengalir begitu terburu-buru. Tiba-tiba aku merasa ketakutan, bagaimana jika yang kulakukan saat ini akan membuatku semakin terluka? Bagaimana jika pada akhirnya aku benar-benar meredupkan harapan yang cahayanya kian meredup? Bagaimana jika aku jatuh kembali? Bagaimana jika aku hanya menimbulkan luka-luka yang baru? Bagaimana jika,
"Hallo?" Ku rasakan suara tenang dari dalam handphoneku.
Oh shit. Suara itu... suara yang begitu kurindukan, suara yang membuatku tergila-gila padanya.
Oh, damn, what are you fucking doing, self?
Aku buru-buru menekan tombol merah pada handphoneku, namun bukannya menutup telepon, handphoneku nge-hang total!
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Mampuuuuusss!!!!
Kenapa juga sih handphone sialan ini harus nge-hang dalam keadaan seperti ini?
"Hey? Hallo? Hallo?" Ujar suara disebrang sana lagi, kali ini lebih nyaring.
Kepanikan langsung menyerangku begitu saja, buru-buru aku membuka bagian belakang dari handphoneku, dan mencabut batterynya secepat kilat.
Fuiiiih...... Ternyata ini tak semudah yang kubayangkan. Segala kata yang sudah kusiapkan tadi membeku seiring dengan terdengarnya suara yang ku rindukan itu. Tapi aku bahagia, rasa rindu yang begitu amat kini sedikit demi sedikit mulai terobati, setidaknya sakitnya tidak seperti tadi. Setidaknya malam ini aku bisa bermimpi dengan bahagia.
Kunyalakan kembali handphoneku, menunggunya aktif kembali dengan perasaan tegang. Entahlah, aku hanya merasakan detak jantungku malah semakin terasa cepat.
Aku melihat ada satu kotak masuk dalam handphoneku, dan ku buka pesan itu dalam hitungan detik.
Aku terdiam membaca kalimat demi kalimat di dalamnya, mencerna 5 kata yang tercetak besar dalam layar handphone. Dapat ku rasakan mataku memanas, dan hatiku menjerit kesakitan.

From: 08xxxxxxxxxxxx
I'm sorry, who are there?

Nomor itu adalah nomor laki-laki yang kurindukan dan kutelpon tadi. Hanya 5 kata, namun sangat mampu merobek lukaku semakin dalam. Aku tersenyum getir membaca ulang kalimat itu.
It's funny how you already forget everything that I can't switched it off my mind.
Ternyata aku salah. Aku memang bodoh karena sekarang aku sudah benar-benar mematikan cahaya itu, aku tidak seharusnya memakai harapan terakhirku tadi. Aku bodoh karena merasa dia akan menyimpan kenangan tentang diriku seperti aku menjaga kenangan tentangnya dalam ruang hatiku. Aku bodoh karena berfikir malam ini aku bisa bermimpi indah. Aku bodoh karena aku memeras jeruk nipis itu sendiri ke dalam luka di hatiku.
Aku tertawa getir meratapi kebodohanku itu. Kemudian terisak begitu hebatnya di bawah selimut. Aku tidak mampu lagi menahan air mata, sakitnya terlalu amat, lukanya terlalu besar untuk kutanggung sendiri, aku tak mampu lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Do you want to know who I am? I am a moron who still loving you even though everyone told me not to. I am a moron who missing you that much.
Aku mengetik kata-kata itu, namun kuurungkan niatku untuk mengirimnya. Cukuplah sampai di sini saja. Cukup sampai sini saja aku bertindak bodoh karena mencintainya dan merindukanya.
Air mata masih mengalir di pipiku, menyatakan bahwa luka itu masih ternganga lebar dalam relung hatiku.
Yeah, I am a moron who hurt my own self. I am a moron.
But, this moron is missing you.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog,My World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea