Jumat, 05 April 2013

Every reason of my why question

Diposting oleh Farida Citra di 20.03

"Raka!" Seseorang, cewek berkulit putih, dengan postur tubuh yang kurus dan tidak terlalu tinggi menepuk bahu Raka. Reflek, aku dan Raka yang tadi sedang mengobrol langsung menoleh ke sumber suara cempreng itu.

"Ah, jess!" Suara Raka terdengar kaget.

"Ngapain kesini? Kan sudah ku bilang, gak akan lama." Tanya Raka kemudian.

"Ini." Cewek itu mengulurkan sebuah plastik berlabel solaria, "Kamu kesini mau mengantar ini kan? Makanya aku kesini."

"Oh iya!" Raka mengambil plastik berisi makanan itu dan kemudian memberinya padaku.
  
"Buat aku?" Tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Iya, tadi Raka sengaja ngebungkusin makanan itu. Kayaknya sih emang buat lo." Jawab cewek itu sambil memamerkan deretan giginya yang berbehel biru dan ungu.

Aku kembali mengerutkan dahi.  Aneh, yang ditanya siapa yang jawab siapa.

"Tunggu! Apa tadi cewek itu bilang? Kenapa dia tahu kalau Raka sengaja memesannya buatku? Apa
mereka tadi makan siang bersama? Siapa sih cewek ini? Hubungannya apa?!" Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku berbarengan dengan sebesit rasa kesal dan tidak suka.

"Thanks." Kataku sambil tersenyum sedikit maksa.

"Gue Jessica." Ujar cewek tadi, yang sekarang diketahui bernama Jessica sambil mengulurkan tangannya padaku dan tersenyum sok ramah.

"Shera." Ku balas jabatan tangannya, sambil membalas senyumnya dengan (lagi-lagi) sedikit terpaksa.

"Kenapa lo gak pernah cerita punya kenalan temen cewek sih, ka?" Tanya Jessica sambil menarik lengan Raka dan kemudian bergelenggotan di lengannya.

"Heh! Ngapain lo ngegelenggotan manja sama Raka! Mirip monyet, tau gak!" Aku memakinya dalam hati. Nyebelin banget, sih. Sok manja. Ngegelenggotan gitu kayak monyet aja.

"Shera. Cewek gue, jess." Kali ini terdengar suara Raka yang tegas tapi terdengar lembut dan menenangkan.

"Oh. Kok lo gak pernah cerita lo punya cewek sih, ka?" Tanya Jessica dengan suarnya yang cempreng dan masih dalam keadaan tadi –bergelenjotan seperti monyet-. Apa kata pacar tadi kurang jelas? Cewek macem apa sih dia? Cewek yang gak tau malu apa memang bernyali besar? Sudah tau ada pacarnya, masih aja ganjen! Bener-bener minta dikatain monyet.

"Belum sempet. Bukan gak pernah." Jawab Raka sambil melirikku dari ekor matanya. Dan melepaskan lengannya dari tangan Jessica.

"Kalian udah lama jadiannya?" Tanya Jessica lagi.

Oh, please, kenapa hari ini aku harus bertemu orang seperti dia? Kenapa juga ada orang seperti dia? Orang yang sok ramah, sok kenal, sok dekat, sok tau, ganjen, caper, dan sangaaaaat menyebalkan! Orang yang mempunyai kombinasi sifat-sifat yang menyebalkan. Kenapa Raka bisa kenal sama cewek ini? Kenapa juga dia mau kenal sama cewek ini? Kenapa juga dia bawa dia kesini dan mengenalkan orang super nyebelin itu? Benar-benar awal perkenalan yang buruk.

Aku meliriknya sinis. Bodo amat deh mau dia sakit hati juga. Rasa kesal ini sudah menumpuk di hati, dan kalau tidak dikeluarkan malah bahaya, bisa bikin pernyakit, kan?

"Jess, lo ke mobil aja duluan. Gue masih ada perlu." Ujar Raka setelah melihat tatapan sinis yang kuberikan tadi. Sepertinya Raka menyadari bahwa aku tidak suka dengan cewek cempreng ini, tapi kenapa si objek malah tetep nyengiri-nyengir gini? Gak nyadar apa? Oh, 1 hal lagi yang menyebalkan dari dirinya.

"Oke. Gue tunggu di mobil ya, Ka. Sampai ketemu lagi, Shera."  Ujarnya sok ramah dan sambil memamerkan gigi berbehelnya lagi.

Apa dia tidak capek nyengir terus? Apa memang sengaja ingin memeberitahuku tentang "Nih behel gueeee! Gaul kan gue!"?

Jessica membalikkan badan, dan kemudian berlalu menjauh. Dan aku pun ikut membalikan badan, dan berusaha menjauh dari Raka.

"Hey! Kenapa sih?" Tanya Raka sambil berjalan disampingku.

Aku hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala. Please, deh! Apa semua cowok itu ditakdirkan untuk tidak peka dan selalu bertanya? Apa dia tidak menyadari bahwa aku kesal dan cemburu melihatnya digandeng cewek lain? Apa ekspresiku ini kurang jelas?

"Ngomong lah. Jangan bikin aku nebak-nebak kamu kenapa." Ujarnya sambil mengehentikan jalanku.

"Udah sana. JESSICA nungguin tuh!" Sindirku dengan menekankan kata jessica.

"Dia cuma sahabat aku waktu di Jakarta, sher.." Jelas Raka.

"Oh ya? Terus?" Tanyaku dengan nada kesal.

"Aku bisa jelasin. Dia emang orangnya seperti itu. Ya, kita udah lama kenal jadi mungkin bagi kita seperti tadi itu biasa."

"BAGI LO BIASA! GAK BAGI GUE!!!!!" Aku teriak dalam hati.

"Sher.." Panggil Raka lembut.

"Kamu gak usah jelasin sekarang, guru lesku udah dateng." Aku bersyukur guru les kali ini datang tepat waktu. Jadi aku tidak perlu berlama-lama ribut dengan Raka.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah 4 hari aku dan Raka tidak bertemu akibat kejadian tempo lalu. Dan hari ini aku sudah berdiri di depan pintu rumah Raka, berniat untuk meminta maaf karena sikap kekanak-kanakanku tempo hari.

"Eh? Sher?" Raka menyapaku dengan muka kaget dan suara berat. Sepertinya dia baru bangun tidur, karena rambut dan mukanya masih sangat kusut. Tapi tetap ganteng dan menawan..

"Sorry. Aku datang kepagian ya?" Tanyaku setelah melirik jam dinding rumah Raka, pukul 8 pagi.

"Gak apa-apa, aku seneng malah dibangunin sama ketukan pintu dari kamu.." Ujarnya sok mesra. Sumpah, kalau Raka sedang begini aku malah ingin tertawa bukan malah meleleh.

"Sudah kubilang kan, kalau kamu itu gak ada bakat jadi penggombal." Ledekku.

Seperti biasa, Raka akan membalasnya dengan mengacak-acak rambutku. Aku tidak pernah marah jika rambut yang sudah kusisir rapi itu diacak-acak olehnya, aku malah senang, merasa seperti disayangi.

"Hari ini kita mau kemana?" Tanya Raka.

"Kemana kek, yang penting kamu mandi dulu sana. Bau gitu juga." Ledekku lagi dan lagi.

"Walau aku bau, kamu tetap cinta kan.." Katanya sambil mencubit pipiku, kemudian berlari menjauh dan tertawa.

Aku selalu bahagia melihat Raka seperti itu. Tawanya, senyumnya, candanya, cubitannya, tangannya yang mengacak-acak rambutku, dan gombalan-gombalan noraknya selalu membuatku bahagia, memberikan ketenangan dan kedamaian, memberikan ku semangat, membuatku merasa bersyukur karena dicintai oleh dirinya.

Aku tersenyum sendiri di ruang tamu sambil menunggu Raka mandi dan bersiap-siap. Hingga akhirnya senyum itu luntur saat aku melihat seseorang yang mungkin bisa menghancurkan kebahagiaanku sekarang. Jessica.

"Hai, sher." Sapa Jessica dengan senyum tipis.

Aneh, biasanya dia selalu memamerkan gigi behelnya itu, atau bersikap sangat ramai. Sekarang aku tidak mendengar suara cemprengnya, tidak melihat gigi behelnya, tidak melihat mukanya yang selalu ceria, dan tidak melihat matanya yang menyala-menyala bersemangat. Seperti ada sesuatu yang salah.

"Hai, jess. Masih disini?" Tanyaku.

Jessica hanya menaikan sudut bibirnya, "Tenang, lusa gue pulang."
Ups! Sepertinya aku salah bertanya. Dan sepertinya dia salah menanggapi arti pertanyaanku. Sumpah, aku gak berniat mencari gara-gara lagi, aku hanya mencoba bersikap ramah.

"Kenapa pulang? Udah masuk sekolah?" Tanyaku mencoba memecahkan ketegangan di antara kita berdua.

"Actually, sekolah gue liburnya cuma sabtu sama minggu doang." Katanya sambil menawariku tirammisu, "Gue bolos sekolah, sih." Lanjutnya dengan nada enteng.

Bolos? Dan tanpa ekspersi bersalah? Dengan muka biasa saja dan mengucapkannya enteng sekali? Apa memang orang ibu kota sudah terbiasa membolos? Jadi seolah-olah hal seperti itu wajar dan biasa saja?

“Oh, God, what’s wrong with this girl?” Batinku. Sumpah, baru kali ini aku bertemu cewek super cuek seperti Jessica. Tapi mempunyai kombinasi sifat-sifat nyebelin: caper, sok tau, sok kenal, sok deket, gak punya malu, dan ngeselin.

“Kenapa bolos?” Akhirnya aku bertanya.

“Males sama anak-anak satu sekolahan, males sama keluarga, males sama semua orang di Jakarta.” Jawabnya sambil memakan tiramisu.

Aku menyipitkan mata, tidak mengerti apa maksudnya. “Kenapa?”

“Lo pernah ngerasa jadi orang yang gak diharepin?” Jessica balik bertanya.

“Hah?”

“Jadi orang yang gak diharepin, jadi orang yang dibenci semua orang, jadi orang yang gak pernah dilirik sekalipun. Like you are standing alone in this world.” Ujar Jessica, menjelaskan.

“Hah? Pertanyaan apa itu? Apa maksudnya? Apa arti dari pertanyaan itu? Ngerasa jadi orang yang gak diharepin? Jadi orang yang dibenci semua orang? Apa dia sedang merasakannya sekarang?” Aku bertanya dalam hati, menebak-nebak apa maksud pertanyaannya.

“Oh, i guess gak pernah. Lo punya semuanya, orang-orang yang sayang sama lo.” Jessica menjawab pertanyaannya sendiri.

“Lo pernah ngerasain itu?” Tanyaku. Oke, oke aku tau ini pertanyaan bodoh. Tapi entah kenapa aku merasa tertarik dengan objek pembicaraannya sekarang, seperti aku menemukan diri Jessica yang lain.

“Setiap detik, setiap menit, dan setiap harinya, gue udah berteman baik dengan perasaan yang sangat menyakitkan itu.” Jawabnya dengan senyum tipis.

“Kenapa lo bertahan dengan perasaan seperti itu, Jess?”

“Apa yang bisa gue lakuin selain bertahan dan nyemangatin diri sendiri? Marah sama Tuhan karena dikasih hidup yang menyakitkan seperti ini? Berkali-kali gue nyalahin takdir, tapi gak ada hasilnya. Gue tetep harus berteman dengan perasaan menyakitkan-menyakitkan itu. Gak ada yang bisa gue lakuin lagi, selain pura-pura menikmatinya.” Suara Jessica kali ini terdengar lemah.

“Lo capek?” Aku tau, ini pertanyaan bodoh. Tapi aku hanya ingin tahu lebih lanjut tentang dirinya.

“Terkadang. Terkadang gue capek nyari perhatian sana-sini biar mereka bisa suka sama gue, dan mau ngisi kekosongan di sini.” Katanya sambil menunjuk bagian dada, “Tapi hasilnya nihil, sher. Semua orang malah ngejauhin gue, nyinisin gue, dan ujung-ujungnya gue kembali menjadi orang yang gak diharapkan.”

Jadi ini alasan kenapa dia bersikap sok kenal, sok dekat, mencari perhatian, dan menyebalkan saat bertemu ku pertama kali? Jadi dia hanya ingin berteman denganku? Mencari perhatianku agar aku bisa menyukainya? Jadi ini alasannya? Kenapa hatiku ikut terasa sesak mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya? Kata-katanya lemah, dan penuh beban.  Seolah-seolah ini adalah diri Jessica yang sesungguhnya, yang kesepian, yang tersiksa, yang lemah, yang menyakitkan.

“Cara lo salah, jess. Lo gak perlu cari perhatian cuma buat bikin orang-orang suka sama lo.”

Jessica menghela napas, “Sher, lo gak pernah ngerasain jadi gue. Elo gak pernah ngerasain bagaimana menyakitkannya berteman dengan sebuah rasa kesepian. Rasa yang bisa membunuh gue secara perlahan. Kalau gue diem, dan menjadi diri gue yang sebenarnya, gak akan ada orang yang merhatiin gue. Gue tau mereka merhatiin gue dari sisi buruk, tapi seenggaknya gue diperhatiin, gue dianggep ada, dan gue ada diantara pikirian mereka walau dengan rasa sebal dan benci. Itu cara yang bisa bikin gue tetap hidup, cara gue buat nutupin semuanya, cara gue buat ngelawan rasa sepi.”

“Lo gak perlu jadi orang lain hanya untuk narik perhatian orang.”

“Lalu gue harus jadi diri gue yang kayak gini?! Yang lemah, yang gak berdaya, yang menyaktikan, yang sangat memprihatinkan?” Tanyanya dengan suara yang serak, seperti suara yang menahan tangis.

“Nangis aja, Jess. Nangis kalau lo mau. Nangis biar beban lo hilang.” Aku merangkulnya.

Jessica terisak dipundakku. Menitikan air mata. Menumpahkan segala beban yang ia tanggung entah berapa lama. Hatiku ikut terasa sesak melihatnya seperti ini. Aku melihat dirinya yang berbeda, dirinya yang sangat tersakiti. Aku tidak tahu bagaimana rasanya harus menghadapi rasa sepi, rasa dibenci, dan rasa tidak diharapkan secara bersamaan. Menyakitkan, pasti.

Jessica yang kemarin ku kenal sangat menyebalkan, ternyata punya alasan tersendiri mengapa dia bersikap seperti itu. Dia hanya ingin diperhatikan, dan mempunyai teman. Kejam sekali aku jika tidak mau menjadi temannya. Bukankah dia sangat membutuhkan pundak seorang teman? Kenapa aku malah melangkah jauh darinya?

“Ini pertama kalinya gue cerita tentang apa yang gue rasain ke orang yang baru kenal. Satu-satunya orang yang gue percaya itu Raka, sahabat baik gue dari kecil. Thanks ya, sher. Raka beruntung punya lo.” Ujar Jessica, sekarang dia sudah berhenti menangis.

“Anytime, Jess. Ah kenapa sih lo gak bersikap jadi diri lo aja? Diri lo seperti ini lebih menyangkan!”

“Gak bisa, sher. Gue harus nutupin semuanya, gue harus berpura-pura kalau gue baik-baik aja, gue gak mau semua orang tau tentang apa yang gue rasain, gue gak mau mereka kasihan sama gue. Gue udah nyaman make topeng ini, topeng yang berhasil menyembunyikan tangis dengan sebuah senyuman.”

Ya Tuhan.. Mengapa Kau memberinya kepribadian seperti itu? Jika aku menjadi Jessica, aku tidak yakin akan kuat seperti itu. Aku tidak mungkin kuat menyembunyikan perasaan yang amat menyakitkan. Aku tidak akan bisa menyembunyikan kesedihanku dengan muka ceria, seolah semua baik-baik saja, aku tidak akan bisa tertawa diantara rasa sakit ini. Tapi Jessica bisa, dia masih bisa memamerkan senyuman behelnya, dia masih ceria, dia masih tersenyum dan tertawa.

“Satu-satunya cara agar gue gak tersiksa dengan rasa sepi ini adalah dengan tertawa dan tersenyum.” Jessica tersenyum, tapi aku bisa melihat tatapan matanya yang lemah.

“Maka dari itu kenapa gue suka mamerin behel gue, biar gue gak kelihatan menyedihkan banget! Hahahahah” Lanjut Jessica sambil tertawa.

Disaat seperti ini, saat dia harus berteman dengan rasa yang begitu menyakitkan, disaat dia harus memakai topeng muka ceria, disaat dia harus menutupi kesedihannya, disaat dia harus memendam dan bertahan, disaat dia berjuang sendiri agar hidupnya baik-baik saja di mata orang-orang, disaat beberapa menit lalu dia menangis, dan sekarang dia bisa tertawa, seolah-seolah tidak ada hal menyakitkan apapun yang sedang dia alamin. She’s a good pretender.

“I’m fine.” Katanya sambil tersenyum.

“Gak mungkin..” Aku mengelak kata-katanya.

“Don’t worry, sher. Gue udah terbiasa kayak gini. Lo gak perlu khawatir, oke? Jangan mengahancurkan sandiwara gue yang udah gue bangun bertahun-tahun lah.” Ujar Jessica.

“Oke. Sekarang elo gak sendiri lagi kan? Ada gue dan Raka. Elo gak perlu bersikap nyebelin didepan gue, karena sekarang elo udah dapet perhatian gue.” Kataku. Ya, sekarang Jessica bukan lagi menjadi daftar orang yang tidak ku suka. Now, she’s my friend.

“Thanks ya sher.. oh iya gue mau jujur, sebenarnya gue sengaja sih waktu itu bersikap nyebelin, cuma pengen bikin lo kesel. Karena menurut gue, being annoyin is fun!” Ujar Jessica tertawa.

Aku tertawa. Jessica sebenarnya tidak menyebalkan, dia hanyalah seseorang yang terjebak pada sifat yang menyebalkan. Dia orangnya menyenangkan, lucu, asik, dan sangat tegar. Aku kagum padanya. Jika aku menjadi dirinya, aku tidak akan bisa setegar dirinya.

Percaya dengan teori “don’t judge a book by it’s cover”? Aku percaya, apa yang kita lihat bukanlah yang sebenarnya. Setiap orang punya alasan mengapa dia melakukan hal-hal gila. Setiap orang mempunyai rahasia. Setiap orang mempunyai cerita di balik kover-kovernya.  Setiap orang mempunyai lembaran-lembaran yang tidak kita ketahui. Setiap orang mempunyai rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog,My World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea