Sabtu, 29 September 2012

Cangkir Coklat Kenangan

Diposting oleh Farida Citra di 19.28

Suara alunan musik lagu Can't Let Go - Landon Pigg di Cafe ini langsung tertangkap oleh kedua gendang telingaku. Aku amat mengenal lagu ini, alunan musiknya, arti liriknya, dan suara yang biasa ikut mengaluni lagu ini. Ya, suara dia dan diriku yang dulu saling melengkapi. Entah sudah berapa lama, aku tidak pernah mendengar suara yang ku rindukan itu. Aku tidak yakin dengan jumlahnya, yang jelas bagiku semua itu terasa sudah lama. Sudah lama tidak ada yang menemaniku menyanyikan lagu-lagu favoritku. Ya.......... Sejak kejadian itu, kejadian yang paling menyakitkan yang pernah aku alami. Kejadian yang sangat ingin aku lupakan, tapi nyatanya, hingga saat ini, aku tidak bisa untuk tidak mengingatnya. Layaknya rekaman-rekaman film dalam otakku, kejadian itu akan memutar dengan sendirinya, tanpa bisa ku cegah.

3 Mei, 2011.
Ku nikmati cangkir ketiga Coklat Panas yang menemaniku dalam kesendarianku. Ini sudah lebih 1 jam dari waktu yang ditentukan untuk bertemu dengannya. Tidak biasanya dia membuatku menunggu selama ini, dia berkata ada sesuatu penting yang harus di bicarakan. Entah apa, tapi sekarang, perasaanku terasa gelisah dan sedikit sesak. Aku tidak tahu mengapa, mungkin karena rasa panik dari kesimpulan yang ku buat sendiri.


Ku teguk aroma coklat panas untuk sedikit menenangkan perasaanku. Rasa cokat mengalir di kerongkonganku dan ya, akhirnya aku bisa mengendalikan perasaan ini. Walau terasa ada yang salah dalam hatiku, setidaknya jantungku tidak berdebar kencang seperti tadi.


Sampai akhirnya aku menemukan sosok lelaki dalam balutan siluet biru laut dan jeans hitam yang berada dalam kerumunan orang-orang. Aku hanya menatapnya dari jauh, tapi seperti menyadari tatapan mataku, lelaki itu menoleh dan tersenyum menghampiriku.


"Hai." Sapanya, sambil tersenyum. Tapi aku merasakan bahwa itu hanya sebuah senyuman palsu. Dia memang tersenyum seolah ceria, tapi aku bisa menangkap rasa gelisah yang ada di matanya. Ada yang salah pada dirinya, yang aku tidak ketahui.


Aku hanya tersenyum tipis menjawab sapaannya, "Ada apa?" Akhirnya, pertanyaan itu mucul juga dari bibirku. Aku sudah tidak kuasa untuk menahan rasa penasaran yang dari tadi menumpuk menjadi satu garis berantakan.


"Boleh aku memesan minuman dulu? Kau tahu, tidak mudah menemukanmu dalam kerumunan banyak orang seperti ini." Ujarnya sambil tersenyum. Aku memang menyukai senyuman itu, tapi lagi-lagi, aku seperti menangkap sesuatu yang salah dalam gelagatnya.


"Silahkan." Ujarku sambil tersenyum.


Ada hening yang panjang setelahnya. Aku dan Dia sama-sama mengunci bibir dan sibuk dengan pikiran dan pertanyaan-pertanyaan dalam otak masing-masing.


Lagi-lagi, aku merasakan dadaku terasa sesak. Bukan karena asma atau penyakit pernapasan, aku seperti merasakan...... Ada sesuatu yang hilang satu persatu dalam hatiku, dan itu menimbulkan ruang kosong yang bisa kurasakan sakitnya. Kembali ku meneguk coklat panas, sekedar untuk membuat diri menjadi lebih tenang.


"Nes.." Panggil lelaki itu dengan lembut.
"Ya.." Aku hanya menanggapinya semampuku. Ternyata coklat panas yang biasanya bisa membuatku menjadi lebih tenang, sekarang pengaruhnya gagal total. Mungkin karena rasa panas itu sudah tidak terasa lagi.


"Kau tahu, aku datang kemari untuk membicaran sesuatu." Ujarnya sambil menarik napas. Aku seperti merasakan akan ada sesuatu yang terjadi.


"Ada apa?" Tanyaku setenang mungkin.


Dia tak kunjung menjawab. Wajahnya tertunduk dan tangannya memegang erat cangkir yang berisi expresso itu. Aku ikut menunduk dan mencoba menenangkan diri, tapi sekeras apapun aku berusaha menenangkan diri, pertanyaan dan dugaan itu tetap berada di otakku. Membuatku menjadi takut, dan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi.


"But Nes, promise me you'll be fine.." Ujarnya tenang. Tapi suaranya yang tenang itu malah bagaikan petir bagiku.


"I will." Ujarku sambil menarik napas. Entahlah, apakah aku akan baik-baik saja atau tidak, apakah aku sudah siap mendengar semua ini atau belum, aku tidak yakin.


Aku bisa merasakan Dia menghela napas.


"Kau tahu.. Rahayu, orangtuaku, dan orangtuanya...." Kata-katanya terhenti. Kembali dia menghela napas, mungkin dia sedang mencari kekuatan untuk mengatakan hal ini.


Ku hela napasku juga, aku juga sedang mencari kekuatan untuk mendengar tentang hal ini. Dan lagi-lagi, aku bisa merasakan retakan-retakan kecil dalam hatiku. Semen-semen yang berada dalam ruang hatiku sekarang sedang goyah, dan entah akan sampai akan bisa bertahan.


"Mereka mendesak kami untuk segera melangsungkan pertunangan....." Ujarnya sambil tertunduk lesu. Sekarang aku mengetahui apa maksud dari tatapan matanya saat di depan kafe tadi, dia bukan sedang mencariku, tetapi dia sedang mengulur waktu untuk mengatakan hal ini.


Aku ingin menjawab dan berteriak, tapi tidak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutku, tenggorokanku seperti tercekat dengan air mata yang tertahan.


Dan akhirnya, retakan-retakan kecil yang tadi terjadi dalam ruang hatiku kini sudah benar-benar hancur. Bangunan dalam hatiku kini sudah benar-benar runtuh dan hanya meninggalkan bekas.... Bekas kenangan yang menimbulkan luka, dan selamanya akan tetap berada disitu.


"Nes.. Please, don't cry. I'm so sorry........" Ujarnya pelan. Aku bisa merasakan rasa khawatir dalam suaranya.


Aku menghela napas sekuat mungkin. Seolah-olah aku membutuhkan seluruh udara yang berada di kafe ini. Dadaku terlalu sesak dan tidak kuat menahan rasa sakit ini. Hatiku terlalu hancur untuk menatapnya. Aku sekarang rapuh di hadapannya......


"I'm fine." Ujarku sambil tersenyum memaksa.


Lagi-lagi dia menghela napas, "Maaf, Nes. Tapi kau harus tahu, aku masih mencintaimu."


Rasanya aku ingin menumpahkan coklat panas yang sudah dingin ini kedalam otaknya. Agar dia sadar bahwa ucapannya salah dan malah membuat hatiku semakin hancur dan rapuh.


"Tolong, dengan kau mengatakan kata-kata itu, kau malah membuatku semakin terluka." Ujarku sedikit menambah volume suara. Aku menghela napas, mencoba menenangkan hati yang sekarang sudah tidak berbentuk.


Dia terdiam, memandangku lekat-lekat, "Aku hanya ingin jujur padamu. Aku masih men-"


Aku memotong pembicarannya, aku yakin aku tidak akan sanggup jika mendengar lanjutan kalimat itu.


"Aku tidak mau dengar hal itu. Cukup! Hatiku sudah berlubang, dan jangan kau tambahkan dengan lubang yang lain!" Aku berteriak kali ini. Entahlah, aku sudah tidak berfikir secara logis. Luka-ku sudah benar-benar sakit hingga mampu membuat kerja otakku terhenti.


"Kau tahu, itu menyakitkan untukku! Kita saling menyayangi, tetapi keadaan membuat kita tak dapat bersama. Dan itu menyakitkan.... Sangat menyakitkan untuk melihat orang yang mencintaiku dan ku cintai akan menikahi perempuan lain." Akhirnya.... Air mataku mengalir begitu saja, tanpa pernah ku hendaki. Aku menangis seolah-olah mengatakan padanya bahwa aku rapuh dan hatiku sangat terasa pedih.


Kami saling terdiam. Aku menunduk sambil mengendalikan air mataku agar tidak mengalir kembali. Dan aku bisa merasakan dia menatapku dengan tatapan yang sama sakitnya.


"Nes.. Tolong. Kau menyakitiku dengan menangis seperti ini." Ujarnya sambil memegang punggung tanganku.


Aku menampik tangannya, "Hahahaha kau merasakan sakitnya?" Tanyaku dengan sinis.


"Jika kau memang merasa sakit saat melihatku menangis, mengapa kau malah menyakitiku dan membuatku menangis? Kau tidak sadar siapa yang membuat hujan di mataku ini?"


"Tolong, Nes.. Aku juga tidak ingin menyakitimu. Jika aku bisa, aku akan memilih untuk terus mencintaimu dan tidak melukaimu." Ujarnya sambil menghela napas.


"Mencintaiku? Jika kau memang mencintaiku, mengapa kau menikahi perempuan itu?" Ujarku sangat sinis. Aku hanya ingin menunjukkan padanya, bahwa aku ingin dia melakukan apa yang dia harapkan..


Dia hanya terdiam dan menghela napas. Entah ini sudah berapa helaan yang dia keluarkan sejak pertama kami bertemu 45menit yang lalu.


"Seharusnya aku sadar dari awal, kau memang bisa mencintai dua wanita sekaligus, tapi pada akhirnya, kau akan memilih satu di antara mereka. Dan harusnya aku tau, aku akan menjadi orang yang tidak terpilih." Ujarku sambil tersenyum pada diriku sendiri. Mataku menatap sesuatu yang kosong. Seolah-olah aku baru menyadari sesuatu yang seharusnya kusadari dari awal.


Aku menggigit bibir bawahku, menguatkaan diriku sendiri agar tidak menangis lagi.


Dia menghela napas, kali ini lebih kuat, "Aku minta maaf, Nes. Jika bisa, aku tidak-"


Aku memotong omongannya lagi, merasa ingin menamparnya saat mendengar apa yang akan ia katakan, "Bullshit. Simpan omong kosongmu itu, aku tidak membutuhkannya. Kau bisa pergi sekarang."


"Tapi.. Aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini."


"Apa gunanya kau berada disini? Kau hanya akan membuatku semakin terluka. Lebih baik kau pergi, dan cintailah perempuan itu seutuhnya. Jaga dia agar tidak mengalami sakit yang aku rasakan." Ujarku kali ini lebih sinis, tapi aku mengatakannya dengan tulus. Aku tidak ingin seorang pun merasakan sakitnya, walaupun perempuan itu adalah orang yang sudah merebut pangeran impianku. Karena aku tahu bagaiman sakitnya perasaan ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.


Dia bangkit dari kursinya, dan menghampiriku. Aku menampis tangannya saat dia ingin memelukku, untuk apa pelukan itu, jika hanya akan membuat luka ku semakin dalam.


Aku bisa merasakan dia mengehela napas dan melangkah pergi menjauhiku. Aku hanya menunduk, tidak kuasa untuk melihat langkahan kakinya yang akan menjauh.


"Semoga kau bahagia. Aku akan selalu menjadikanmu masa lalu terindahku. Terima kasih atas segala pelajaran yang kau berikan." Ujarku dalam hati.


Ku tegak kembali coklat panas yang sudah akan habis. Tegukan terakhir kali ini menghantarkan kepergian lelaki yang amat aku cintai. Cangkir coklat panas ini menjadi saksi atas perpisahan ku dan dirinya.


Sesaat, setelah aku benar-benar menghabiskan takaran terakhir coklat panas ini, kulihat punggungnya benar-benar sudah menjauh... Tegakan terakhir coklat panas yang tak tersisa, dan hanya menyisakan sebuah kenangan antara aku dan dirinya..

**
Ku hela napas saat mataku tertuju pada bangku paling ujung di kafe ini. Dulu, tempat itu adalah saksi perpisahan aku dan dirinya.
Tidak ada yang berubah dari kafe ini, rasa coklat panasnya pun tidak berubah, begitupula dengan perasaanku.
Well I can't let go 

No, I can't let go of you 

You're holding me back without even trying to.

I can't let go 

I can't move on from the past 

Without lifting a finger you're holding me back. 
Ku nyayikan sepenggal lirik yang biasa kami nyanyikan bersama dalam keadaan berbisik. Ku teguk coklat panas yang akhirnya membawa sisa-sisa kenangan yang dulu kembali lagi..
Ah, Ron, apakah kau sekarang sudah bahagia?

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog,My World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea