“WHAT THE FUCK ARE YOU DOING?!” Suaraku meninggi, membentak
Sam yang sangat rese karena iseng mencabut earphone yang dari tadi
terpasang di
kedua telingaku. Bagaimana aku tidak marah? Aku sedang menikmati lagu
dari Katy Perry, tiba-tiba saja Sam menyabut earphone-nya tanpa
berbicara atau meminta izin terlebih dahulu.
“Gue yang harusnya bilang what the fuck! Daritadi gue
ngomong lo asik-asikan ngegelengin kepala sambil nyanyi gak jelas.” Teriak Sam
tak kalah kerasnya. Matanya menyorotkan kekesalan yang lumayan mendalam. Aku
bisa melihat sekali bahwa Sam sangat bete dan kesal, tapi untunglah dia
mengontrol emosinya, setidaknya tidak akan terjadi pertempuran ludah yang akan
keluar dari mulut kami berdua.
“Ya mana gue tau kalau lo ngomong ke gue. Gue pikir lo ikut
nyanyi..” Aku hanya tersenyum tipis,
malu akan kesalahanku. Seharusnya aku tidak teriak sekasar tadi.. Tapi tetap
saja, aku terlalu gengsi untuk meminta maaf duluan.
“Ya lo pikir aja sendiri emangnya disini ada siapa lagi?
Lagian ngedengerin musik kenceng-keceng banget, kuping lo tuli tau rasa ntar.”
Jawab Sam, volume suaranya sudah menurun drastis.
“Kok lo malah nyumpahin gue tuli sih?!” Sewotku tidak terima
dengan ucapan Sam tadi. Aku memang salah, tapi tidak seharusnya juga kan dia
menyumpahiku menjadi tuli? Memangnya dia mau melihat temannya jadi tuli? Teman
macam apa dia.
“Siapa yang nyumpahin sih, Nik? Gue kan cuma bicara fakta,
ini kata dokter kok.” Jawab Sam masih dengan volume minimum. Untunglah dia
tidak ikut terseret seperti emosiku yang gampang naik.
“Ya tapi kan gak usah pake ngatain gue bakal jadi tuli.
Temen macam apa lo yang nyumpahin temennya menderita!” Jawabku masih dengan
suara teriak. Aku memang megakui kebenaran kalimat Sam tadi, tapi aku terlalu
gengsi untuk mengiyakannya langsung, itu sama saja seperti aku menyerahkan diri
didepan pengadilan.
“Yang harusnya marah-marah kan gue. Dan yang harusnya minta
maaf itu lo, kenapa lo jadi ngasih kesalahan itu ke gue?” Sam masih tenang, dan
malah menyunggingkan senyuman. Aku tau, itu senyuman mengejek darinya. Sam
selalu tersenyum disaat aku marah-marah tanpa alasan yang jelas. Lihat kan? Dia
memang orang yang paling aneh didunia ini. Tapi karena alasan itulah yang membuatku nyaman setiap berada di
sampingya. Jika dunia ini bertanya siapa orang yang paling sabar dan paling
pengertian, maka Sam adalah salah satunya.
“Iya iya, gue minta maaf!” Jawabku tanpa perasaan tulus
sedikitpun. Aku terlalu gengsi untuk sekedar meminta maaf apalagi dengan tulus,
ya walau aku tau itu semua kesalahanku. Untunglah, semua orang yang mengenalku
dengan baik mengerti, karena bagi mereka, kata maaf tulus yang keluar dari
mulutku sama seperti
mendapatkan harta karun disekitar sini, sulit untuk terjadi.
“Orang tuh ya, Nik kalau minta maaf pake senyum dan suara
yang lembut. Gak kayak lo, udah teriak, mukanya jutek pula! Yang ada
orang-orang malah pengen langsung bunuh lo, tau.” Ledek Sam yang membuat rasa
bete ku bertambah mejadi 80%.
“Kalau gak mau maafin, ya bilang aja!” Ujarku makin sinis.
Entahlah, aku ini termasuk orang yang sangat sensitif. Masalah kecil seperti
ini saja bisa membuat emosiku langsung naik. Jangankan masalah seperti ini,
poni yang lepek saja dapat membuatku membentak semua orang hingga poniku
kembali menjadi kering.
“Siapa coba yang bilang gitu? Lo nih PMS tiap hari apa, ya?
Tiap hari ngomel muluuuuuu. Untung aja gue udah kenal lo dari lo masih pake
pempers, jadi udah tau kalau sifat lo itu tukang marah-marah.” Jawab Sam. Sorot
matanya menampakkan bahwa dirinya sangat-sangat ingin membunuhku.
“Tuh kan malah ngeledek. Kalau lo gak rese gini sih, gue
juga gak akan ngomel!” Jawabku makin sinis. Tapi aku menyimpan senyuman di
dalam hati. Kalau saja aku tidak ingat bahwa aku sedang mengomel padanya, aku
pasti langsung tertawa karena melihat ekspresi depresi dari wajahnya.
“YAUDAH SALAH GUE! I’M SORRY, OKAY?” Jawabnya dengan suara
dan ekspresi wajah orang depresi. Mungkin dia sudah terlalu capek berdebat
masalah tidak penting seperti ini denganku.
Aku hanya tersenyum menunduk. Memegang ponselku dan
men-scroll down keypadnya. Tidak membuka aplikasi apa-apa, hanya karena ingin
tertawa tanpa terlihat oleh Sam.
Suara Sam tidak terdengar lagi. Ekspresi mukanya berubah menjadi
tegang dan sangat serius. Aku yakin, di dalam otaknya pasti sedang terjadi
perdebatan hebat. Setiap dia ingin mengatakan hal yang sangat serius, dia pasti
akan terdiam lama sambil menampakkan ekspresi berpikir di wajahnya. Aku
menghentikan tawa kecilku, ikut serius memandang mata Sam.
Sam tidak kunjung bicara, dia malah ikut menatap mataku.
Disaat seperti ini, aku seperti merasakan gempa bumi. Bukan, bukan gempa bumi
yang terjadi di Cafe ini, tapi gempa bumi yang terjadi di hatiku. Setiap kali
mata kami bertemu, semua perasaan marah, kesal, sedih, atau apapun yang tadi kurasakan langsung
berubah menjadi debaran kencang.
Aku memutar kepalaku ke sebalah kanan. Membuang napas dan
mengatur debaran jantungku agar kembali menjadi normal. Tatapan matanya tadi
seolah-olah dapat menghisap semua udara yang berada di paru-paruku, membuatnya
menjadi kosong dan dapat menimbuklan
sesak napas.
“Lo pernah jatuh cinta, Nik?” Tanya Sam sangat serius. Baru
saja aku mendapatkan napasku kembali, sekarang dia sudah menghirupnya lagi. Dan
baru saja jantungku
berdetak normal, sekarang sudah
bertambah kecepatan lagi.
“Y...a.” Aku hanya menjawab pertanyaannya sebisaku. Seolah-olah
pertanyaan yang keluar dari mulutnya tadi membuat seluruh saraf ditubuhku
berhenti bekerja. Aku tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata lain. Otakku
seolah-olah terkena virus susah berbicara akibat jatuh cinta.
“Cinta itu aneh ya, Nik. Kadang bikin bahagia setengah mati,
kadang bikin galau sampe pengen mati. Kadang bikin egois karena pengen memiliki
dia seutuhnya, tapi kadang juga bikin kita belajar merelakan seseorang demi
kebahagiannya. Kadang bikin gue semangat untuk memulai hari, tapi kadang juga
bikin gue putus asa pengen mengakhiri hari. Kadang memberikan pelangi, kadang
juga memberikan kabut dan air hujan di mata.” Ujar Sam sambil tersenyum,
matanya seperti menerawang. Mungkin dia sedang memikirkan orang yang di
cintainya. Aku hanya ikut tersenyum melihatnya sebahagia ini. Tidak ada yang
lebih membahagiakan dari melihat senyum bahagia dari orang yang kita cinta.
“That’s love. Cinta itu kekuatan yang paling hebat. Hanya ketulusan cinta
yang bisa menghancurkan dendam
di hati seseorang. Hanya karena alasan cinta yang dapat membuat
seseorang berubah menjadi lebih baik. Hanya cinta yang bisa membuat kebiasaan marah-marah
gue berubah menjadi senyuman manis..” Jawabku ikut tersenyum membayangkan
bagaimana hebatnya kekuatan cinta yang diberikan Sam untukku, untuk merubahku
menjadi seseorang yang lebih baik..
“Siapa sih, Nik? Kok lo gak pernah cerita? Hebat tuh orang
bisa bikin sifat lo yang sering marah-marah jadi diem sambil senyum-senyum.
Hahahaha.” Tanya Sam dengan suara tawa
khasnya. Seolah-olah tawa yang keluar dari mulutnya dapat memberikan ketenangan disetiap
darah yang mengalir di tubuhku.
Andai saja dia tahu, seseorang itu adalah dirinya. Dia yang
bisa membuatku tersenyum dikala marah, hanya dia yang bisa membuat hujan
dimataku berubah menjadi pelangi. Dia adalah alasan mengapa aku ingin menjadi lebih baik, agar aku bisa membuatnya merasa
nyaman dan terus tersenyum, karena bagiku, kebahagiaannya sama seperti nyawa, aku akan
mempertahankan nyawa itu walau harus berkorban luka atau darah. Dan dia
adalah alasan mengapa aku percaya dengan cinta yang tulus, karena hanya dia
yang bisa membuatku merasakan kekuatan cinta itu.
“Yes, he is..” Jawabku sambil tersenyum tulus.
“WOW! Who is that wonderful man?” Tanya Sam terkejut.
Sepertinya dia sangat penasaran
dengan orang itu. Padahal, dia bisa melihat orang hebat itu dari bola mataku.
Ya, karena orang itu sekarang berada di depanku.. sambil tersenyum dan bertanya
siapakah orang itu.
“I will tell you if you tell me who is that lucky girl
first.” Jawabku sambil tersenyum sangat lebar. Aku tidak akan terpancing
jaringnya, aku tidak akan mengatakan cinta terlebih dahulu.
“Oh noo.. i think she doesn’t love me too.” Jawab Sam.
Walaupun dia masih tersenyum, tapi aku tahu bahwa hatinya sedang meringis
menahan sakit. Hal yang paling menyakitkan didunia ini adalah, kenyataan bahwa
seseorang yang mencintaimu tidak memiliki perasaan yang sama denganmu. Tapi aku
berjanji, Sam tidak akan pernah merasakan itu. Dia berhak untuk dicintai dan
bahagia.
“No, Sam. She loves you. Gimana mungkin dia gak suka sama
sahabat gue yang paling ganteng, baik, dan pengertian ini? If that’s true, she
is the most stupid girl.” Aku berusaha meyakinkannya bahwa gadis yang dia
cintai pasti mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Sam hanya kurang
percaya diri, padahal tanpa dia bertanya pun, gadis itupun mencintainya..
“No, she isn’t. She’s smart, beautiful, georgerous, cute,
and she means everything to me..” Ujar Sam. Matanya memancarkan cinta yang
begitu dalam. Senyumnya menandakan bahwa dia bahagia memiliki gadis ini dalam
hidupnya..
“Well, tell her, Sam..” Jawabku masih terus meyakinkannya.
Aku tidak mungkin memulainya terlebih dahulu. Oh, c’mon, apa sulitnya
mengatakan cinta? Dia lelaki, dan tidak boleh takut dengan kata cinta. Jika
dengan cinta saja takut, bagaimana dia bisa melindungi orang yang ia cintai
itu?
“No no no no. How if she says no?” Tanyanya masih ragu. Aku
terus menahan diri untuk tidak mengatakannya terlebih dahulu. Aku ini kan
perempuan, dan kodrat perempuan hanyalah menjawab iya saat di tanya tentang cinta, bukan malah
menanyakannya terlebih dahulu.
“Just try it. Don’t be afraid to tell what you feels. If you
never try, you’ll never know.. C’mon Saaaaam! She will says yes. Trust me.”
Jawabku setengah teriak. Aku seperti
seseorang yang sedang terkena depresi karena sudah menunggu terlalu lama. Daritadi aku hanya mengepalkan
jari-jari di bawah meja cafe, terlalu antusias untuk menunggu Sam menyatakan
cinta, dan sangat ingin mencakarnya karena hingga sekarang dia belum menyatakan
apa-apa.
“How if Tasya doesn’t love me back?” Tanyanya dengan
ekspresi wajah depresi
juga. Mungkin dia tertekan karena aku terlalu memaksanya.
Eh, wait. Tasya? Did he called Tasya? Not Nikita? Apa aku benar-benar mendengar
nama Tasya dari bibirnya itu? Apa aku hanya salah mendengar akibat terlalu
sering mendengarkan musik keras-keras? Aku berharap memang itu semua salah, aku
sangat berharap bahwa gendang telingaku kali ini sedang bermasalah. No, no,
no... but it was soooo real. Jadi, yang dimaksud Sam selama ini adalah Tasya?
Senyum yang tadi berada dibibirku sekarang hilang
perlahan-lahan. Ketegangan yang aku rasakan tadi sekarang berubah menjadi rasa
sesak di dada. Debaran
kencang yang sejak tadi berdetak sekarang berubah menjadi sangat lambat. Udara
yang ku rasakan akan menghilang itu sekarang sudah benar-benar menghilang,
membuat paru-paruku menjadi kosong, hanya ada rasa sakit yang sangat kuat yang
bisa ku rasakan. Pelangi yang tadi muncul di mataku sekarang berubah menjadi
kabut yang bisa berubah
menjadi air hujan dalam hitungan detik.
Aku hanya merasa semua kebahagiaan yang ku rasakan tadi
tiba-tiba menghilang seiring dengan Sam menyebut nama perempuan itu.. Rasa
senang yang menumpuk menjadi satu itu sekarang sudah terpisah dan menyebabkan
retakan-retakan di hatiku. Aku merasa dasar hatiku sekarang sudah dipenuhi
dengan lubang besar dan jumlahnya banyak, seperti ada ombak besar yang
menyerang dasar hatiku, membuatnya menjadi berkarang. Ombak besar itu menyerang
hatiku, ya ombak besar itu adalah suara Sam yang menyebut nama orang lain.. orang
yang dia cinta.. dan bukan namaku.
Ya, hal yang paling menyakitkan adalah, saat orang yang kita cinta
mencintai orang lain dan kita harus berpura-pura baik-baik saja.
Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum disaat aku kehilangan
kebahagiaanku?
“What? Tasya?..............” Tanyaku, memastikan bahwa semua
yang aku dengar adalah benar.
Jika saja aku tidak bisa mengontrol emosi, mungkin sekarang aku sudah menangis
didepannya.
“Oh My God.............................. did i called her
name?” Seiring dengan jawaban
dari mulut Sam, aku
kembali merasakan ombak besar itu kembali menyerang hatiku, membuatnya
lebih berlubang lagi. Ombak besar itu membuatku tidak bisa merasakan apa-apa,
hantamannya terlalu keras, dan hanya memberikan rasa sakit yang sangat sangat
menyakitkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa berdiri tanpa
melakukan apapun, hanya bisa membiarkan ombak besar itu terus menyerangku,
menghantam hatiku, membuatnya menjadi berlubang, dan menyeretku dalam kesedihan
yang menyakitkan.
“Yes, you did.” Jawabku sambil berusaha tersenyum. Aku
yakin, jika Sam benar-benar memperhatikanku, dia pasti bisa merasakan bagaimana
sakitnya aku menahan luka yang dia torehkan ini. Aku berusaha kuat untuk
menyembunyikan luka yang semakin dalam ini. Tapi Sam, dia seperti pelaku tabrak
lari, dia sama sekali tidak peduli dengan korbannya, dia tidak peduli bagaimana
sakitnya luka yang dirasakan korban itu. Dia sama sekali tidak bertanggung
jawab, dia sama sekali tidak berusaha mencoba melihat lukanya. Dan korbannya hanya bisa meringis
menahan sakitnya luka itu, menunggu orang lain yang bisa melihat lukanya
kemudian bisa menutupinya dengan perban kebahagiaan yang sekarang sudah tidak
ia miliki..
“Oh God. Please don’t tell her about this, okay?” Ujar Sam
khawatir. Aku malah kasian melihatnya seperti ini, ketakutan karena sulit
menyatakan cinta. Sebenarnya,
apa yang harus ditakuti dari menyatakan cinta? Seharusnya dia takut akan
kehilangan orang itu jika tidak cepat mengatakannya, sama seperti yang aku
rasakan. Tapi aku tidak ingin dia merasakan bagaimana sakitnya
kehilangan orang yang ia
cintai, karena aku tahu, itu menyakitkan..
“Sam.. rasa takut gak ada apa-apa dibanding rasa sakit yang
akan lo rasain saat lo tau dia mencintai orang lain. Jangan menunggu waktu
untuk mengungkapkan semuanya, jangan biarkan dia berusaha mencari orang lain
dan memberikan cintanya pada orang itu. Tell her, now. Tell her if you really
love her..” Ujarku menasihatinya. Aku tidak mungkin membiarkannya merasakan
bagaimana perihnya luka yang aku rasakan, aku tidak ingin dia juga merasa
menyesal karena telambat mengungkapkan cintanya. Dia tidak boleh merasakan
sakitnya di terpa ombak besar, dia tidak boleh merasakan luka yang sangat
menyakitkan saat ditabrak lari.. karena aku tidak akan pernah membiarkannya
merasakan itu semua. Sam berhak bahagia, dan aku akan membiarkannya bahagia..
walau bersama orang lain.
"I do.
I really love her." Suaranya memang pelan, tapi bagiku,
suara pelan Sam tadi sama seperti suara petir yang langsung menyambar hatiku.
"So, tell her.. Dia pasti bakal ngeliat cinta
tulus itu, Sam." Jawabku sambil tersenyum. Memang bukan senyuman bahagia,
tapi aku akan berusaha bahagia jika melihatnya mendapatkan orang yang ia
cintai.
“Thanks, Nik! Lo emang sahabat gue yang paling baik!” Ujar
Sam tersenyum bahagia.
“Yeah.. that’s friend are supposed to do..” Aku ikut
tersenyum melihatnya sebahagia itu. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada
melihat seseorang yang aku cinta tersenyum... walau aku sedang terseret ombak
atau ditabrak lari, senyum bahagianya akan selalu menjadi nyawa bagiku. Seperti yang aku bilang, nyawa
harus dipertahankan, tidak peduli betapa sakitnya aku. Dan nyawa itu yang akan
menghidupkan ku kembali nanti.. Aku hanya perlu menunggu, menunggu untuk
bangkit dan merasakan cinta kembali.
Seperti yang Sam bilang, kadang cinta mengajari kita
untuk ikhlas merelakan orang yang kita cinta agar dia bahagia. Dan
sekarang, aku harus belajar mengiklashkannya untuk mencintai orang
lain..
Sahabat terbaikku
sedang bahagia, dan bukankah aku seharusnya ikut bahagia juga? Ikut mendukung
untuk mencari kebahagiaannya, teruus berada disisinya, tidak peduli apapun yang
sedang terjadi pada diriku.. tidak peduli bagaimana sakitnya hatiku, aku harus
ikut bahagia. Ya, aku harus
bahagia.
Aku
memasang earphone-ku kembali, berusaha untuk menenangkan hati yang sedang
disambar oleh petir ini.
"Drew looks at me, I fake a smile so he
won't see.."
Suara dari
Taylor Swift yang pertama kali ku dengar, lagu Tear Drops On My guitar itu seolah-olah menyatakan
isi hatiku, mengatakan apa yang tidak bisa ku katakan. Aku hanya mendengarnya
sambil tersenyum pahit.
“He says he's so in
love
He's finally got it right
I wonder if he knows
He's all I think about at night
He's the reason for the teardrops on my guitar
The only thing that keeps me wishing on a wishing star
He's the song in the car I keep singing
Don't know why I do”
"I
know what you feel, Taylor.." Kataku didalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar