"Gue gak ditawarin minum nih?"
Tanya Davin tanpa basa-basi. Sudah hampir 10 menit sejak dia mengetuk pintu
rumahku, dan sampai sekarang hanya kusuguhi sebuah keheningan, aku terlalu
sibuk dengan pikiranku sendiri. Tidak ku ajak ngobrol, apalagi ku tawari minum.
"Eh iya. Mau minum apa?" Tanyaku
reflek, tersadar dari lamunan yang sedari tadi aku lakukan.
"Lo kenapa sih, Ses?" Tanya Davin
lagi. Dia ini termasuk tipe orang yang langsung mengungkapkan pikirannya, tidak
peduli dengan adat basa-basi.
"Tadi lo kesini katanya mau minta
bantuan, kan? Ada apa?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya, entah mengapa
aku belum siap untuk menjawab pertanyaan Davin tadi.
"Oh iya! Jadi gini, gue disuruh bikin
cerita pendek gitu tentang pengalaman pribadi." Jelas Davin.
"Ya, terus?" Tanyaku tidak
antusias.
"Elo tau sendiri kan, gue paling gak
bisa ngerangkai kata-kata puitis gitu. Nah, gue bingung mau minta bantuan ke
siapa. Ke temen-temen cowok gue kan gak mungkin, mereka satu tipe sama gue. Ya,
elo kan satu-satunya temen cewek gue..yang paling bisa gue percaya." Jelas Davin
lagi sambil menampakkan gigi yang
dipagari dengan warna biru itu. Ya, aku tahu. Satu-satunya teman perempuannya
adalah aku, selanjutnya adalah Mamanya. Dia memang tidak pernah tertarik dengan
teman-teman perempuan disekolahnya. Dia bilang, mereka itu seperti artis,
hobbynya ber-drama ria.
"Jadi?" Tanyaku datar.
"Gue cuma stress karena mikirin hasil
UN dan akibat dari tes SMA kemaren. I'm fine." Jawabku menyakinkan. Berusaha sedikit menangkat sudut bibir walau agak terpaksa.
"Are you sure?" Tanya Davin masih
curiga. Tidak mudah bagiku menyembunyikan sesuatu dari sahabat kecilku ini. He
knows everything about me.
"Lo mau bikin cerita tentang apa
emang?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraannya (lagi).
"Gue juga bingung tuh, Ses. Kerennya
cerita apa ya?"
Aku ikut memutar otak, mencari cerita unik
yang bisa digarap menjadi sebuah cerita pendek. Tapi, seberusaha apapun aku
mengalihkan pikiran, tetap saja hanya masalah -yang sekarang membuatku kacau
balau- selalu terlintas.
Sekuat apapun aku berusaha untuk
mengalihkan masalah ini, tetap saja ujung-ujungnya terus teringat. Lukanya
sudah menempel dihati dan sulit untuk disembuhkan.
"Ah, gue tau! Gimana kalau tentang
pengalaman lo, Tama, dan ldr? Keren kan tuh! Gimana awal
kalian ketemu, gimana antusiasnya lo nyeritain tentang dia, gimanya susahnya
untuk menahan rindu pada satu sama lain, dan kisah seru lainnya. Gimana? Keren gak
sih ide gue?" Seru Davin secara tiba-tiba,
menghentikan lamunanku. Dia sangat antusias sekali. Bisa kulihat lewat
binar-binar yang terpancar lewat mata indahnya itu.
Aku hanya tersenyum sinis mendengar idenya.
Mendengar namanya, sudut bibir atasku langsung terangkat, otakku tidak bisa berhenti memakinya, begitupun
hatiku, setiap kali mendengar namanya, luka yang sudah dalam itu menjadi lebih
dalam lagi. Tama.... seseorang yang sangat berarti
bagiku, seseorang yang aku cintai sekaligus aku benci, seseorang yang sudah
mengubah semua prinsip hidupku, seseorang yang memberiku kenangan manis dan
pahit yang selalu ingin kulupakan, dan seseorang yang sudah memberikan luka dan bekas luka yang sulit
dihilangkan.
"It's over now." Jawabku sambil
mencoba tersenyum. Menjelaskan bahwa aku baik-baik saja, walau nyatanya tidak
seperti itu.
Davin terdiam. Hanya ada wajah kaget yang
tergambar dimukanya. "LO PUTUS? KENAPA? TELL ME, NOW!" Tanya Davin
dengan suara layaknya 10 orang wanita.
"Kita udah gak cocok. Itu aja,
sih." Jawabku sambil tertawa. Entah tertawa untuk apa, mungkin untuk
menutupi lubang-lubang yang menganga di hati yang sudah menjadi kepingan ini.
"Gak mungkin banget cuma karena itu lo
sampe kacau gini. Kenapa? Siapa yang mutusin? Dia? Lo diapain sama dia?"
Tanya Davin berturut-turut. Hah, seharusnya aku tidak perlu memberitahunya,
pasti dia tidak akan mengintrogasiku seperti ini. Aku masih belum siap untuk
menceritakannya.
"Gue. Gue yang salah, bukan dia, Vin.
Udah gue bilang kan gue stress karena mikirin SMA." Ujarku berbohong lagi.
"Gue kenal lo bukan cuma 1-2 bulan,
Ses. Gue kenal lo sejak lo masih pake popok." Ujar Davin tetap tidak mempercai apa yang aku katakan.
Ya, aku tahu tidak ada gunanya berbohong
dengan orang yang sudah mengenalku sejak jaman kami masih bermain pasir.
Sehebat-hebatnya aku menyembunyikan sesuatu, sahabatku ini pasti akan tahu
tanpa aku beri tahu.
"Dia................. udah punya
pacar. Gue cuma dijadiin selingkuhannya. Hahahahahahaha." Jawabku sambil
tertawa. Bukan, bukan karena itu lucu, tapi aku sedang menertawai diriku sendiri.
Menertawai kebodohanku hingga gampang sekali aku ditipu oleh buaya darat itu.
"Bangsat." Hanya itu komentar
Davin. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, seolah-olah dia menahan amarah.
Tidak ada kata-kata puitis yang di berikan, hanya tatapan yang menenangkan.
Aku terdiam, menundukkan kepala, dan
menahan air mata agar tidak berlinang. Ternyata sulit untuk tidak
menangis disaat gempa bumi sedang terjadi dihatiku. Aku ingin bertahan,
berusaha untuk tetap kuat, tapi ternyata gempa bumi lebih kuat dari diriku. Sekarang
hatiku runtuh, hanya menyisakan puing-puingan yang tidak ada artinya lagi. Yang
dulu hatiku sangat kokoh, tapi ternyata saat diberi pengkhiantan, hatiku bisa
rubuh juga. Cinta yang dibalas pengkhiantan hanya akan memberikan luka yang
selamanya akan terus berbekas. Walau nanti luka ini sudah sembuh, dan tidak
terasa sakit lagi, tapi bekasnya akan selalu tetap berada disana. Menandakan bahwa
aku pernah jatuh dilubang pengkhiantan.
"Kalau lo mau nangis, keluarin aja.
Gak usah ditahan." Ujar Davin masih menatapku.
Hening.
Pertahananku melemah
mendengar perkataan Davin tadi, melihat matanya yang penuh sorot rasa
perhatian, rasanya aku hanya ingin menangis. Membagi sakit ini padanya. Memberitahunya
bahwa aku tidak baik-baik saja, aku terjatuh, dan aku membutuhkan seseorang
untuk membuatku bangkit. Aku membutuhkan teman cerita, teman yang bisa
menyemangatiku.
Aku sibuk menata hatiku agar tidak terlalu
hancur, berusaha mencari oksigen agar tidak terlalu sesak. Dan Davin, dia hanya
menatapku kasihan sambil seolah-olah memikirkan sesuatu.
"Rasanya tuh aneh, Vin.. Sakitnya gak
bisa didefinisikan lewat sebuah kalimat. Dada gue sesak setiap kali nginget hal
itu. Hati gue seolah-olah menjerit kesakitaan. Gue jadi gak mood ngapa-ngapain.
Rasanya hampa, kosong, sepi. Tubuh gue disini, tapi enggak dengan jiwa gue.
Kalau pun ketawa atau senyum tuh rasanya awkward, terlalu munafik. Gue cuma
bisa nangis, nangis, nangis, dan nangis."
"Gue bodoh, ya? Udah dikhianatin tetep
aja nangisin dia. I feel like I'm a very stupid person in this world. Gue bego
karena gue terlalau terbuai sama kata-kata manisnya. Gue tolol karena percaya buat
nyerahin hati gue ke orang yang baru gue kenal selama 4bulan."
"Gue kesel sama diri gue sendiri,
Vin.. Dia udah memperlakukan gue kayak gini, tetep aja rasa sayang ini gak bisa
hilang! I
love him, but also I hate him. Gue pengen
ngebunuh lalu ngebuang perasaan ini jauh-jauh, tapi rasanya
susah banget buat ngilangin dia dari hati dan pikiran gue, dan gue benci itu.
Gue pengen lupain dia! Gue gak mau nginget-nginet hal ini lagi! Tapi, semakin
gue berusaha keras ngelupain dia, semakin gue inget dia terus.." Kataku
sambil terisak. Aku membenci diriku yang lemah, seharusnya aku bisa tegar dan
tidak menangisinya terus menerus.
"Lo tau dari mana kalau dia udah punya
cewek?" Hanya itu respon dari Davin. Wajahnya berubah, tidak sesemangat
tadi. Mungkin dia juga merasakan luka yang aku rasakan.
"Ceweknya ngelabrak gue di BBm. Dia
ngatain gue perebut cowok orang. Hahaha" Aku tertawa meningat hal itu.
Bukan tertawa bahagia, tapi tertawa menyesali
betapa bodohnya aku.
"Awalnya gue gak percaya, tapi pas gue
tanyain ke Tama, dia jujur dan bilang iya.. Dan disitu, gue langsung diem, dan
bodohnya gue nangis. Rasanya tuh hati gue kayak retak, kemudian hancur
berkeping-keping.."
"Terus si bangsat bilang apa ke
elo?"
Bangsat. Hahahaha panggilan yang cocok
untuk seorang buaya seperti Tama. Tapi, tetap saja aku tidak bisa memanggilnya
seperti itu, dia masih seseorang yang
aku sayang, he’s still my little porcupine. Aku jadi
teringat mengapa aku memanggilnya seperti
itu, karena rambutnya yang mirip landak. Aku juga masih
ingat setiap panggilan sayang yang dia berikan.. Aku masih mengingat setiap
detail tentangnya, awal perkenalan kami, suaranya yang lembut disetiap
percakapan telepon, kata-katanya yang manis, yang selalu bisa membuatku hari-hariku penuh dengan warna.
Hah! Aku membenci otak ini. Mengapa disaat
yang menyakitkan seperti ini, dia cepat sekali untuk meningat. Why my brain is too easy to remember bout’ all the things that i want
forget?
"Coba
kamu lihat bulan purnama di luar deh, Mut. Itu indah sekali." Ujar Tama
waktu itu saat kami berbincang mesra ditelepon. Dia biasa memanggilku dengan Marmut, entah kenapa, tapi dia bilang
Marmut itu binatang mungil yang paling menggemaskan.
Aku masih mengingat suara
lembutnya, setiap dia memanggilku “Marmut.”, setiap dia berbicara tentang apa
yang dia sukai. Dan aku masih mengingat bagaimana tenangn dan bahagianya aku saat mendengar
suaranya.
"Kamu
suka banget sama bulan purnama ya?"
"Siapa
sih yang gak suka. Bulan purnama itu indah, unik, dan sempurna. Memang kamu gak
suka?"
"Suka
tapi kayaknya gak selebay kamu deh. Hahahaha."
"Tapi
aku juga gak mencintai laut selebay kamu, sampe kamu rela hanyut asalkan bisa
melihat laut selamanya."
"Kalau
liat laut itu aku bawaannya suka tenang sendiri, jadi lupa sama masalah.
Apalagi ada ikan-ikan yang lucu, terus kita bisa liat langit yang indah dari
dekat banget, seolah-olah langit diatas kita."
"Kamu
nih sok tau. Eh, yang, tau gak kenapa aku suruh kamu liat bulan purnama
itu?"
"Gak,
kamu belum ngasih tau."
"Karena
walaupun kita berada di kota yang berbeda, dihalangi oleh ratusan kilometer
jarak, tapi kita masih bisa melihat satu hal secara bersamaan, sambil tersenyum
memikirkan satu sama lain, berbicara seperti ini, seolah-seolah kita sedang
memandang bulan bersama. Anggap saja aku ada disebelahmu, ya." Ujarnya waktu itu.
Rasanya waktu itu aku bahagia sekali, bahagia karena
memilikinya. Bahagia bisa mendapatkan orang sebaik dirinya, tapi ternyata semua
itu salah. You know what the worst feeling for fall in love with wrong person? When
you believer he’s right, then you realize he’s not.
"Hahahaha.
Gombal. Eh, aku bilang ke bulan itu kalau aku sayang banget sama Aditya
Tama."
"Aku
juga sayang banget sama kamu. I don't wanna lose you, Raden Sessy
Juliana."
Aku masih mengingat setiap kata yang
terucap dari bibir kami saat itu, setiap senyuman yang saat itu muncul
dibibirku, setiap kata sayang yang dia lontarkan, suaranya yang lembut,
pembawaannya yang tenang, gombalannya yang romantis, lawakannya yang garing,
setiap cerita disekitarnya yang konyol. Aku masih ingat, dan aku merindukan
semua itu, terutama semua tentang dirinya.
Aku hanya mengusap air mataku, mencoba
untuk tersenyum, tapi ternyata tersenyum tidaklah bisa membuat hati ini
merasakan kebahagiaannya yang dulu. Kebahagiaanku, alasan mengapa dulu aku
selalu tersenyum sudah pergi seiring kepergian-nya. Kebahagiaan itu sudah
terbang jauh meninggalkan pemiliknya yang bodoh ini. Membuat hati sang pemiliknya hampa, dan
merasa kesepian. Membiarkan hati itu remuk dan menjadi keping-kepingan yang
sangat hancur.
"Ses?" Panggil Davin dengan raut
wajah khawatir. Mungkin dia bingung melihatku terdiam kemudian menangis tanpa
alasan yang jelas.
“Vin, lo jawab yang jujur
ya. Sebenernya salah gue itu apa? Kenapa disaat gue ngerasa dia yang terbaik,
dan saat gue bener-bener sayang, gue udah ngasih seluruh hati gue ke dia, tapi
kenapa dia malah jahat sama gue? Kenapa dia malah ngebagi hatinya? Kenapa dia
ngembaliin hati gue lagi, dan itu udah gak utuh. Hati gue udah hancur, remuk,
dan udah gak penting bagi dia. Kenapa vin?! Kenapa?” Jawabku sambil terisak
histeris.
“Rasanya tuh sakit
banget, Vin.. Sakit banget. Gue bodoh banget ya? Seharusnya gue gak boleh
ngasih semua hati gue ke dia..”
"Lo gak bodoh. Dia yang bodoh karena udah nyia-nyiain lo." Ujar Davin seraya memelukku. Dan aku menangis terisak di dadanya,
mencurahkan segala kesakitan yang aku rasakan.
"Kalau lo emang sakit, bilang sakit.
Kalau lo butuh orang lain, bilang. Jangan ketawa, dan tersenyum seolah lo
baik-baik aja. Ungkapin semua yang lo rasain. Seneng, sedih, apapun yang lo
rasain. Jangan pendem masalah lo sendirian. Lo bisa bagi-bagi rasa sakit lo itu
ke gue! Gue gak akan pernah ngebiarin lo ngerasain sakit sendirian. Ses, lo gak
sekuat yang lo pikirin. Sekuat-kuatnya pondasi rumah jika diterpa gempa dan
tsunami, pasti akan hancur juga. Begitu juga dengan hati lo, sekuat-kuatnya
hati lo jika terus disakiti akan hancur juga. Telinga, mata, pelukan ini, dan
seluruh organ tubuh gue bakal selalu ada jikala lo membutuhkan seorang
teman." Ujar Davin menenangkan. Dia terus mengusap punggungku,
seolah memberikan kekuatan dan ketenangan.
Aku terus terisak di dada bidang milik
Davin, memeluknya erat, merasakan setiap napas dan ketenangan yang dia berikan.
Tapi otakku masih memikiran Tama. Tidak ada
yang bisa menggantikannya diotak dan hatiku. Dia akan selalu berada disana,
entah sampai kapan. Hatiku masih tertinggal jauh di Tama, jaraknya masih
terlalu jauh untuk bisa kembali ketempatnya semula.
0 komentar:
Posting Komentar