"Raka!" Seseorang, cewek
berkulit putih, dengan postur tubuh yang kurus dan tidak terlalu tinggi menepuk
bahu Raka. Reflek, aku dan Raka yang tadi sedang mengobrol langsung menoleh ke
sumber suara cempreng itu.
"Ah, jess!" Suara Raka
terdengar kaget.
"Ngapain kesini? Kan sudah ku
bilang, gak akan lama." Tanya Raka kemudian.
"Ini." Cewek itu mengulurkan
sebuah plastik berlabel solaria, "Kamu kesini mau mengantar ini kan?
Makanya aku kesini."
"Oh iya!" Raka mengambil
plastik berisi makanan itu dan kemudian memberinya padaku.
"Buat aku?" Tanyaku sambil
mengerutkan kening.
"Iya, tadi Raka sengaja ngebungkusin
makanan itu. Kayaknya sih emang buat lo." Jawab cewek itu sambil
memamerkan deretan giginya yang berbehel biru dan ungu.
Aku kembali mengerutkan dahi. Aneh, yang ditanya siapa yang jawab siapa.
"Tunggu!
Apa tadi cewek itu bilang? Kenapa dia tahu kalau Raka sengaja memesannya
buatku? Apa
mereka tadi makan siang bersama? Siapa sih cewek ini? Hubungannya apa?!" Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku berbarengan dengan sebesit rasa kesal dan tidak suka.
mereka tadi makan siang bersama? Siapa sih cewek ini? Hubungannya apa?!" Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku berbarengan dengan sebesit rasa kesal dan tidak suka.
"Thanks." Kataku sambil
tersenyum sedikit maksa.
"Gue Jessica." Ujar cewek
tadi, yang sekarang diketahui bernama Jessica sambil mengulurkan tangannya
padaku dan tersenyum sok ramah.
"Shera." Ku balas jabatan
tangannya, sambil membalas senyumnya dengan (lagi-lagi) sedikit terpaksa.
"Kenapa lo gak pernah cerita
punya kenalan temen cewek sih, ka?" Tanya Jessica sambil menarik lengan
Raka dan kemudian bergelenggotan di lengannya.
"Heh!
Ngapain lo ngegelenggotan manja sama Raka! Mirip monyet, tau gak!" Aku memakinya dalam hati. Nyebelin banget, sih. Sok manja.
Ngegelenggotan gitu kayak monyet aja.
"Shera. Cewek gue, jess."
Kali ini terdengar suara Raka yang tegas tapi terdengar lembut dan menenangkan.
"Oh. Kok lo gak pernah cerita
lo punya cewek sih, ka?" Tanya Jessica dengan suarnya yang cempreng dan
masih dalam keadaan tadi –bergelenjotan seperti monyet-. Apa kata pacar tadi
kurang jelas? Cewek macem apa sih dia? Cewek yang gak tau malu apa memang
bernyali besar? Sudah tau ada pacarnya, masih aja ganjen! Bener-bener minta dikatain
monyet.
"Belum sempet. Bukan gak
pernah." Jawab Raka sambil melirikku dari ekor matanya. Dan melepaskan
lengannya dari tangan Jessica.
"Kalian udah lama
jadiannya?" Tanya Jessica lagi.
Oh, please, kenapa hari ini aku
harus bertemu orang seperti dia? Kenapa juga ada orang seperti dia? Orang yang
sok ramah, sok kenal, sok dekat, sok tau, ganjen, caper, dan sangaaaaat
menyebalkan! Orang yang mempunyai kombinasi sifat-sifat yang menyebalkan.
Kenapa Raka bisa kenal sama cewek ini? Kenapa juga dia mau kenal sama cewek
ini? Kenapa juga dia bawa dia kesini dan mengenalkan orang super nyebelin itu?
Benar-benar awal perkenalan yang buruk.
Aku meliriknya sinis. Bodo amat deh
mau dia sakit hati juga. Rasa kesal ini sudah menumpuk di hati, dan kalau tidak
dikeluarkan malah bahaya, bisa bikin pernyakit, kan?
"Jess, lo ke mobil aja duluan.
Gue masih ada perlu." Ujar Raka setelah melihat tatapan sinis yang
kuberikan tadi. Sepertinya Raka menyadari bahwa aku tidak suka dengan cewek
cempreng ini, tapi kenapa si objek malah tetep nyengiri-nyengir gini? Gak
nyadar apa? Oh, 1 hal lagi yang menyebalkan dari dirinya.
"Oke. Gue tunggu di mobil ya,
Ka. Sampai ketemu lagi, Shera."
Ujarnya sok ramah dan sambil memamerkan gigi berbehelnya lagi.
Apa dia tidak capek nyengir terus?
Apa memang sengaja ingin memeberitahuku tentang "Nih behel gueeee! Gaul
kan gue!"?
Jessica membalikkan badan, dan
kemudian berlalu menjauh. Dan aku pun ikut membalikan badan, dan berusaha
menjauh dari Raka.
"Hey! Kenapa sih?" Tanya
Raka sambil berjalan disampingku.
Aku hanya menjawabnya dengan sebuah
gelengan kepala. Please, deh! Apa semua cowok itu ditakdirkan untuk tidak peka
dan selalu bertanya? Apa dia tidak menyadari bahwa aku kesal dan cemburu
melihatnya digandeng cewek lain? Apa ekspresiku ini kurang jelas?
"Ngomong lah. Jangan bikin aku
nebak-nebak kamu kenapa." Ujarnya sambil mengehentikan jalanku.
"Udah sana. JESSICA nungguin
tuh!" Sindirku dengan menekankan kata jessica.
"Dia cuma sahabat aku waktu di
Jakarta, sher.." Jelas Raka.
"Oh ya? Terus?" Tanyaku
dengan nada kesal.
"Aku bisa jelasin. Dia emang
orangnya seperti itu. Ya, kita udah lama kenal jadi mungkin bagi kita seperti
tadi itu biasa."
"BAGI
LO BIASA! GAK BAGI GUE!!!!!"
Aku teriak dalam hati.
"Sher.." Panggil Raka
lembut.
"Kamu gak usah jelasin
sekarang, guru lesku udah dateng." Aku bersyukur guru les kali ini datang
tepat waktu. Jadi aku tidak perlu berlama-lama ribut dengan Raka.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah 4 hari aku dan Raka tidak
bertemu akibat kejadian tempo lalu. Dan hari ini aku sudah berdiri di depan
pintu rumah Raka, berniat untuk meminta maaf karena sikap kekanak-kanakanku
tempo hari.
"Eh? Sher?" Raka menyapaku
dengan muka kaget dan suara berat. Sepertinya dia baru bangun tidur, karena
rambut dan mukanya masih sangat kusut. Tapi tetap ganteng dan menawan..
"Sorry. Aku datang kepagian
ya?" Tanyaku setelah melirik jam dinding rumah Raka, pukul 8 pagi.
"Gak apa-apa, aku seneng malah
dibangunin sama ketukan pintu dari kamu.." Ujarnya sok mesra. Sumpah,
kalau Raka sedang begini aku malah ingin tertawa bukan malah meleleh.
"Sudah kubilang kan, kalau kamu
itu gak ada bakat jadi penggombal." Ledekku.
Seperti biasa, Raka akan membalasnya
dengan mengacak-acak rambutku. Aku tidak pernah marah jika rambut yang sudah
kusisir rapi itu diacak-acak olehnya, aku malah senang, merasa seperti
disayangi.
"Hari ini kita mau
kemana?" Tanya Raka.
"Kemana kek, yang penting kamu
mandi dulu sana. Bau gitu juga." Ledekku lagi dan lagi.
"Walau aku bau, kamu tetap
cinta kan.." Katanya sambil mencubit pipiku, kemudian berlari menjauh dan
tertawa.
Aku selalu bahagia melihat Raka
seperti itu. Tawanya, senyumnya, candanya, cubitannya, tangannya yang
mengacak-acak rambutku, dan gombalan-gombalan noraknya selalu membuatku
bahagia, memberikan ketenangan dan kedamaian, memberikan ku semangat, membuatku
merasa bersyukur karena dicintai oleh dirinya.
Aku tersenyum sendiri di ruang tamu
sambil menunggu Raka mandi dan bersiap-siap. Hingga akhirnya senyum itu luntur
saat aku melihat seseorang yang mungkin bisa menghancurkan kebahagiaanku
sekarang. Jessica.
"Hai, sher." Sapa Jessica
dengan senyum tipis.
Aneh, biasanya dia selalu memamerkan
gigi behelnya itu, atau bersikap sangat ramai. Sekarang aku tidak mendengar
suara cemprengnya, tidak melihat gigi behelnya, tidak melihat mukanya yang
selalu ceria, dan tidak melihat matanya yang menyala-menyala bersemangat.
Seperti ada sesuatu yang salah.
"Hai, jess. Masih disini?"
Tanyaku.
Jessica hanya menaikan sudut bibirnya, "Tenang, lusa
gue pulang."
Ups! Sepertinya aku salah bertanya.
Dan sepertinya dia salah menanggapi arti pertanyaanku. Sumpah, aku gak berniat
mencari gara-gara lagi, aku hanya mencoba bersikap ramah.
"Kenapa pulang? Udah masuk
sekolah?" Tanyaku mencoba memecahkan ketegangan di antara kita berdua.
"Actually, sekolah gue liburnya
cuma sabtu sama minggu doang." Katanya sambil menawariku tirammisu,
"Gue bolos sekolah, sih." Lanjutnya dengan nada enteng.
Bolos? Dan tanpa ekspersi bersalah?
Dengan muka biasa saja dan mengucapkannya enteng sekali? Apa memang orang ibu
kota sudah terbiasa membolos? Jadi seolah-olah hal seperti itu wajar dan biasa
saja?
“Oh,
God, what’s wrong with this girl?” Batinku.
Sumpah, baru kali ini aku bertemu cewek super cuek seperti Jessica. Tapi
mempunyai kombinasi sifat-sifat nyebelin: caper, sok tau, sok kenal, sok deket,
gak punya malu, dan ngeselin.
“Kenapa bolos?” Akhirnya aku
bertanya.
“Males sama anak-anak satu
sekolahan, males sama keluarga, males sama semua orang di Jakarta.” Jawabnya
sambil memakan tiramisu.
Aku menyipitkan mata, tidak mengerti
apa maksudnya. “Kenapa?”
“Lo pernah ngerasa jadi orang yang
gak diharepin?” Jessica balik bertanya.
“Hah?”
“Jadi orang yang gak diharepin, jadi
orang yang dibenci semua orang, jadi orang yang gak pernah dilirik sekalipun.
Like you are standing alone in this world.” Ujar Jessica, menjelaskan.
“Hah?
Pertanyaan apa itu? Apa maksudnya? Apa arti dari pertanyaan itu? Ngerasa jadi
orang yang gak diharepin? Jadi orang yang dibenci semua orang? Apa dia sedang
merasakannya sekarang?” Aku
bertanya dalam hati, menebak-nebak apa maksud pertanyaannya.
“Oh, i guess gak pernah. Lo punya
semuanya, orang-orang yang sayang sama lo.” Jessica menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Lo pernah ngerasain itu?” Tanyaku.
Oke, oke aku tau ini pertanyaan bodoh. Tapi entah kenapa aku merasa tertarik
dengan objek pembicaraannya sekarang, seperti aku menemukan diri Jessica yang
lain.
“Setiap detik, setiap menit, dan
setiap harinya, gue udah berteman baik dengan perasaan yang sangat menyakitkan
itu.” Jawabnya dengan senyum tipis.
“Kenapa lo bertahan dengan perasaan
seperti itu, Jess?”
“Apa yang bisa gue lakuin selain
bertahan dan nyemangatin diri sendiri? Marah sama Tuhan karena dikasih hidup
yang menyakitkan seperti ini? Berkali-kali gue nyalahin takdir, tapi gak ada
hasilnya. Gue tetep harus berteman dengan perasaan menyakitkan-menyakitkan itu.
Gak ada yang bisa gue lakuin lagi, selain pura-pura menikmatinya.” Suara
Jessica kali ini terdengar lemah.
“Lo capek?” Aku tau, ini pertanyaan
bodoh. Tapi aku hanya ingin tahu lebih lanjut tentang dirinya.
“Terkadang. Terkadang gue capek
nyari perhatian sana-sini biar mereka bisa suka sama gue, dan mau ngisi
kekosongan di sini.” Katanya sambil menunjuk bagian dada, “Tapi hasilnya nihil,
sher. Semua orang malah ngejauhin gue, nyinisin gue, dan ujung-ujungnya gue
kembali menjadi orang yang gak diharapkan.”
Jadi ini alasan kenapa dia bersikap
sok kenal, sok dekat, mencari perhatian, dan menyebalkan saat bertemu ku
pertama kali? Jadi dia hanya ingin berteman denganku? Mencari perhatianku agar
aku bisa menyukainya? Jadi ini alasannya? Kenapa hatiku ikut terasa sesak
mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya? Kata-katanya lemah, dan
penuh beban. Seolah-seolah ini adalah
diri Jessica yang sesungguhnya, yang kesepian, yang tersiksa, yang lemah, yang
menyakitkan.
“Cara lo salah, jess. Lo gak perlu
cari perhatian cuma buat bikin orang-orang suka sama lo.”
Jessica menghela napas, “Sher, lo
gak pernah ngerasain jadi gue. Elo gak pernah ngerasain bagaimana
menyakitkannya berteman dengan sebuah rasa kesepian. Rasa yang bisa membunuh
gue secara perlahan. Kalau gue diem, dan menjadi diri gue yang sebenarnya, gak
akan ada orang yang merhatiin gue. Gue tau mereka merhatiin gue dari sisi
buruk, tapi seenggaknya gue diperhatiin, gue dianggep ada, dan gue ada diantara
pikirian mereka walau dengan rasa sebal dan benci. Itu cara yang bisa bikin gue
tetap hidup, cara gue buat nutupin semuanya, cara gue buat ngelawan rasa sepi.”
“Lo gak perlu jadi orang lain hanya
untuk narik perhatian orang.”
“Lalu gue harus jadi diri gue yang
kayak gini?! Yang lemah, yang gak berdaya, yang menyaktikan, yang sangat
memprihatinkan?” Tanyanya dengan suara yang serak, seperti suara yang menahan
tangis.
“Nangis aja, Jess. Nangis kalau lo
mau. Nangis biar beban lo hilang.” Aku merangkulnya.
Jessica terisak dipundakku.
Menitikan air mata. Menumpahkan segala beban yang ia tanggung entah berapa
lama. Hatiku ikut terasa sesak melihatnya seperti ini. Aku melihat dirinya yang
berbeda, dirinya yang sangat tersakiti. Aku tidak tahu bagaimana rasanya harus
menghadapi rasa sepi, rasa dibenci, dan rasa tidak diharapkan secara bersamaan.
Menyakitkan, pasti.
Jessica yang kemarin ku kenal sangat
menyebalkan, ternyata punya alasan tersendiri mengapa dia bersikap seperti itu.
Dia hanya ingin diperhatikan, dan mempunyai teman. Kejam sekali aku jika tidak
mau menjadi temannya. Bukankah dia sangat membutuhkan pundak seorang teman?
Kenapa aku malah melangkah jauh darinya?
“Ini pertama kalinya gue cerita
tentang apa yang gue rasain ke orang yang baru kenal. Satu-satunya orang yang
gue percaya itu Raka, sahabat baik gue dari kecil. Thanks ya, sher. Raka
beruntung punya lo.” Ujar Jessica, sekarang dia sudah berhenti menangis.
“Anytime, Jess. Ah kenapa sih lo gak
bersikap jadi diri lo aja? Diri lo seperti ini lebih menyangkan!”
“Gak bisa, sher. Gue harus nutupin
semuanya, gue harus berpura-pura kalau gue baik-baik aja, gue gak mau semua
orang tau tentang apa yang gue rasain, gue gak mau mereka kasihan sama gue. Gue
udah nyaman make topeng ini, topeng yang berhasil menyembunyikan tangis dengan
sebuah senyuman.”
Ya Tuhan.. Mengapa Kau memberinya
kepribadian seperti itu? Jika aku menjadi Jessica, aku tidak yakin akan kuat
seperti itu. Aku tidak mungkin kuat menyembunyikan perasaan yang amat
menyakitkan. Aku tidak akan bisa menyembunyikan kesedihanku dengan muka ceria,
seolah semua baik-baik saja, aku tidak akan bisa tertawa diantara rasa sakit
ini. Tapi Jessica bisa, dia masih bisa memamerkan senyuman behelnya, dia masih
ceria, dia masih tersenyum dan tertawa.
“Satu-satunya cara agar gue gak
tersiksa dengan rasa sepi ini adalah dengan tertawa dan tersenyum.” Jessica
tersenyum, tapi aku bisa melihat tatapan matanya yang lemah.
“Maka dari itu kenapa gue suka
mamerin behel gue, biar gue gak kelihatan menyedihkan banget! Hahahahah” Lanjut
Jessica sambil tertawa.
Disaat seperti ini, saat dia harus
berteman dengan rasa yang begitu menyakitkan, disaat dia harus memakai topeng
muka ceria, disaat dia harus menutupi kesedihannya, disaat dia harus memendam
dan bertahan, disaat dia berjuang sendiri agar hidupnya baik-baik saja di mata
orang-orang, disaat beberapa menit lalu dia menangis, dan sekarang dia bisa
tertawa, seolah-seolah tidak ada hal menyakitkan apapun yang sedang dia alamin.
She’s a good pretender.
“I’m fine.” Katanya sambil tersenyum.
“Gak mungkin..” Aku mengelak
kata-katanya.
“Don’t worry, sher. Gue udah
terbiasa kayak gini. Lo gak perlu khawatir, oke? Jangan mengahancurkan
sandiwara gue yang udah gue bangun bertahun-tahun lah.” Ujar Jessica.
“Oke. Sekarang elo gak sendiri lagi
kan? Ada gue dan Raka. Elo gak perlu bersikap nyebelin didepan gue, karena
sekarang elo udah dapet perhatian gue.” Kataku. Ya, sekarang Jessica bukan lagi
menjadi daftar orang yang tidak ku suka. Now, she’s my friend.
“Thanks ya sher.. oh iya gue mau jujur,
sebenarnya gue sengaja sih waktu itu bersikap nyebelin, cuma pengen bikin lo
kesel. Karena menurut gue, being annoyin is fun!” Ujar Jessica tertawa.
Aku tertawa. Jessica sebenarnya
tidak menyebalkan, dia hanyalah seseorang yang terjebak pada sifat yang
menyebalkan. Dia orangnya menyenangkan, lucu, asik, dan sangat tegar. Aku kagum
padanya. Jika aku menjadi dirinya, aku tidak akan bisa setegar dirinya.
Percaya dengan teori “don’t judge a
book by it’s cover”? Aku percaya, apa yang kita lihat bukanlah yang sebenarnya.
Setiap orang punya alasan mengapa dia melakukan hal-hal gila. Setiap orang
mempunyai rahasia. Setiap orang mempunyai cerita di balik kover-kovernya. Setiap orang mempunyai lembaran-lembaran yang
tidak kita ketahui. Setiap orang mempunyai rahasia yang hanya diketahui oleh
dirinya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar