"...take a dirty picture for me take a
dirty picture.. send a dirty picture for me send a dirty picture.. picture..
picture.."
Nada dering Dirty Picture milik Taio Cruz
featuring Ke$ha berdering nyaring di ruangan kamar yang sedang sunyi, dan sepi.
Membuat mata yang tadi tertutup rapat terbuka dan menunjukan keindahan bola
mata berwarna coklatnya.
"Ninoooo! Lo dimana?" Suara teriakan
seorang cewek menyambut telinga Nino saat
meletekan handphone di telinga kanannya.
"Di rumah. Kenapa?" Tanya Nino
dengan suara serak. Suara khas seseorang jika baru bangun tidur.
"Baru bangun tidur ya? Gue ganggu,
dong?" Tanya cewek tersebut dengan nada tidak sesemangat tadi.
"Gak kok, fey. Ada apa?" Tanya
Nino lagi. Penasaran mengapa tiba-tiba cewek ini meneleponnya pagi-pagi buta,
dan menanyakan sedang di mana dirinya. Ini benar-benar kejadian langka
yang wajib dimasukkan dalam sejarah
hidupnya.
"Mau ngajak jalan sih tadinya.. Ah tapi
kalau lo gak bisa dan masih ngantuk gak usah deh, No." Jawab feyra dengan
semburan warna merah di pipinya. Andai Nino bisa melihat, pasti dia bahagia.
"Tumben banget dia ngajak gue jalan?
Biasanya harus gue yang ngajak.." Pikir Nino bahagia.
Satu lagi kejadian langka dalam sejarah
hidupnya. Oh, hari apa ini? Mengapa begitu banyak kejutan? Apa hari ini adalah
hari di mana masa sejarah kebahagiaan hidup Nino? Dibangunkan pagi-pagi oleh
seseorang yang sudah sejak lama ia harapkan, setelah itu diajak jalan. Awal
hari minggu yang menyenangkan.
"Yaudah ya.. Lo tidur lagi aja sana.
B..."
"Eh! Tunggu, fey! Percuma, gue udah melek
gini mana bisa tidur lagi. Mau jalan kemana?" Ujar Nino reflek, memotong
kalimat Feyra.
Feyra tersenyum simpul dibalik layar
handphonenya, "Nonton yuk?"
"Boleh, jam sebelasan gue kesana. Sampai
ketemu ya, fey." Ujar Nino dengan senyum bahagia yang tiba-tiba mengembang
saat menekan tombol merah di keypad handphonenya.
***
"Ah, gila keren parah nih film
Hugo!" Komentar Nino setelah mereka berdua selesai menonton film Hugo.
Fayra hanya mengangguk sambil tersenyum
simpul.
"Kenapa, fey?" Tanya Nino akhirnya.
Dari sejak awal bertemu, Nino heran dan penasaran mengapa Feyra menjadi seperti
ini. Menjadi pendiam, kalem, dan tidak banyak bicara. Sangat berbeda 180
derajat dengan Feyra yang biasanya.
Bukannya menjawab pertanyaan Nino, Feyra malah
menarik Nino ke starbucks.
"Roy.." Akhirnya Feyra mengeluarkan
suara setelah menyeruput cappuccino cream-nya.
"Ha?"
"Roy... Dia berubah lagi.." Jelas
Feyra.
Nino hanya bisa menatapnya nanar. Kejadian ini
terjadi lagi, dan lagi. Bukan hanya satu atau dua kali, tapi seringkali.
Sudah berulang kali Feyra menceritakan tentang
Roy, cowok yang sedang dia taksir pada Nino. Entah ini cerita ke berapa yang
sudah Nino dengar. Menyakitkan memang saat harus berpura-pura respect dan
tersenyum mendengar orang yang dicintai menceritakan tentang cintanya untuk
orang lain. Tapi apa yang bisa Nino lakukan selain menjadi pendengar yang baik?
Setidaknya, dengan mendengar keluh kesah Feyra, Nino berharap luka di hati
Feyra bisa sedikit menghilang. Tidak menumpuk seperti di hati Nino.
Nino hanya bisa mendengar, dan sedikit
berkomentar. Tidak bisa menunjukkan ketidak sukaan-nya secara langsung, tidak
bisa marah karena cemburu. Karena Nino sadar, dihati Feyra dia hanyalah
menempati posisi sebagai sahabat.
“Gue harus gimana, No?” Tanya Feyra lemas.
Seolah-olah dengan berubahnya Roy, semangatnya pun berubah.
Hati Nino sakit saat melihat seperti ini. Saat
Feyra terluka, yang paling terluka adalah Nino. Saat Feyra menangis, Nino
selalu menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Feyra. Saat terjadi
apa-apa dengan Feyra, Nino selalu menjadi orang pertama yang menyesal karena
membiarkan Feyra sendiri.
Ya. Selalu seperti itu. Nino akan mengorbankan
apapun untuk Feyra, termasuk kebahagiannya.
Feyra. Cewek yang dikenal Nino sejak awal
masuk smp adalah satu-satunya cewek yang menjadi teman terdekatnya dan satu-satunya
cewek yang mengisi kehampaan hidupnya. Satu-satunya cewek yang membuatnya akan
melakukan apapun demi kebahagiaan cewek ini. Satu-satunya cewek yang bisa
membuat mood Nino jungkir balik. Satu-satunya cewek yang mengajarinya tentang
Jatuh cinta, patah hati, berkorban, dan menunggu.
"Roy lagi, Roy lagi. Apa sih specialnya
cowok ini, fey?" Tanya Nino jutek. Dia benci mendengar nama Roy disebut
bibir mungil Feyra.
"Gak ada. Dia jahat, dia brengsek, dia
playboy, dia cuma bisa bikin gue patah hati, tapi gue sayang dia, No.."
Ujar Feyra lirih.
"Apa
lo gak bisa melihat siapa orang yang benar-benar sayang sama lo? Kenapa lo
masih berharap dengan orang yang jelas-jelas sangat sulit untuk lo gapai? Apa itu susah buat lo sadari bahwa disini
ada seseorang yang sayang sama lo, Fey? " Ucap Nino dalam hati.
Andai dia bisa mengucapkan kalimat ini langsung, andai Feyra bisa mengerti
perasaannya.
Apa memang semua manusia ditakdirkan untuk
mengejar seseorang yang sulit untuk mereka gapai? Sementara, mereka mengabaikan
seseorang yang jelas-jelas berada di dekatnya.
Mengapa manusia malah mempertahankan seseorang
yang jelas-jelas ingin pergi, sementara mereka mengacuhkan seseorang yang
selalu berada didekatnya.
Mengapa manusia rela jatuh cinta pada orang
yang tidak mengharapkannya, sementara didekatnya ada seseorang yang berharap
dibalas cintanya?
Mengapa manusia selalu mengejar sesuatu hal
yang belum pasti? Sementara, mereka menjauhi sebuah kesempatan yang pasti.
"No.." Panggil Feyra heran mengapa
Nino malah diam membisu dengan ekspresi muka yang sangat menyedihkan, padahal
yang jelas-jelas sedang dilanda galau dan gelisah adalah Feyra.
"Jangan terlalu berharap, fey.. Don’t
hope too much, cause that too much will hurt you too much." Nino tau,
seharusnya kata-kata tadi adalah untuk dirinya.
"Hey, sejak kapan lo suka ngerangkai
kata-kata gitu?" Feyra malah tertawa.
"Sekalinya gue bener aja, malah di
ketawain. Rese lo!"
"Hahaha.. Lagian kesambet apaan, sik? Sok
puitis deh ah lo!"
"Kesambet virus cinta." Jawab Nino
datar.
"WHAT?! Seorang Nino Sebastian jatuh
cinta?! Aduuuh.. Sial banget deh nasib tuh cewek yang lo suka." Ledek
Feyra.
"Heh! Hati-hati berbicara, atau lo
bakalan nyesel!" Ucap Nino sambil mencubit pinggang Feyra. Setelah itu
mereka berdua tertawa, dan menikmati kebersamaan mereka berdua dengan
fikirannya masing-masing.
Feyra tidak tahu bahwa dibalik tawa Nino ada
kegetiran, dan sebuah kawah luka.
Dan Nino tidak tahu bahwa dibalik tawa Feyra,
ada kegelisahan dan ketakutan.
***
Nino bastian:
Gimana tes sma? Lancar?
Sebuah notifikasi BBm muncul dilayar handphone
Feyra.
Fey:
Lancar! Ternyata Roy juga ikut tes! Tadi gue
ketemu! Aaaak seneng!:D:D:D
Sebuah perasaan senang dan deg-degan yang tadi
Nino rasakan sekarang berubah menjadi perasaan yang kacau balau. Sesak,
menyedihkan, mengejutkan, dan menyakitkan bercampur menjadi satu. Seolah-seolah
bisa menghancurkan organ hati Nino jika dia tidak kuat untuk bertahan.
Nino sebastian:
Trus? Roy udah berubah lagi?
Fey:
Ya.. Seperti biasa, dia tuh kayak bunglon, No.
Tapi dia udah baik lagi kok kayak awal gue kenal sama dia. Ih seneng deh,
deg-degan banget asli. Hihihi
Feyra sedang jatuh cinta, hal yang selalu Nino
harapkan. Bedanya, dia dulu berharap cinta pertama Feyra adalah dirinya.
"Mengapa begitu menyakitkan saat melihat
dia tertawa dan bahagia karena orang lain?" Ujar Nino lirih.
Nino tahu, hal seperti ini pasti akan terjadi,
tapi dia tidak tahu bahwa rasanya akan sangat menyakitkan.
Memang, dia bahagia melihat Feyra bahagia,
tapi rasanya begitu menyakitkan saat alasannya bukan dirinya. Nino senang
melihat Feyra jatuh cinta, tapi apakah dirinya salah jika berharap orang itu
adalah dirinya?
Nino bastian:
Ah, I guess. You are falling in love with him,
right?
“Bilang No, fey. Bilang No..”
Entah siapa yang berbicara, tapi Nino tahu bahwa suara itu berasal dari dalam
hatinya.
Fey:
Masa? Emang yang namanya cinta itu kayak gini?
Nino bastian:
Hahaha. Fey, cinta.. Cinta itu hal yang
terlalu rumit buat didefinisikan. Cinta gak perlu didefinisikan, cukup kita
rasakan. Saat lo rela ngelakuin apapun demi sebuah senyuman di bibirnya, saat
lo rela melihat dia jatuh cinta dengan orang lain, saat lo rela menunggu dia
nyasar di hati orang lain, saat lo rela mendengar keluh kesahnya, saat lo rela
membuat dia tersenyum walau sebenarnya hati lo sakit, saat lo rela cinta lo gak
dibalas olehnya.. Mungkin itu apa arti cinta tulus yang sesungguhnya.
Fey:
What the.... Lo belajar ngerangkai kata-kata
itu darimana? Apa emang faktor jatuh cinta, juga? Hahaha
Nino bastian:
Actually, gabungan jatuh cinta dan patah hati
yang bikin gue bisa ngerangkai kata-kata.
Fey:
Ah,
betapa kerennya sakit hati. Bisa bikin seseorang kayak lo jadi puitis dan
kreatif gini.
Nino
bastian:
Tapi
sakitnya keren juga. Ah.. lo gak boleh ngerasain gimana rasanya jatuh cinta dan
patah hati secara bersamaan, fey. Rasanya sangat menyakitkan, bisa bikin mood
lo jungkir balik. Gue gak akan ngebiarin lo ngerasain itu, gue gak akan
ngebiarin lo terluka.
Feyra hanya menatap layar handphone-nya.
Membaca berulang kali chat dari Nino satu menit yang lalu. Otaknya berfikir
keras apa maksud dari kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan Nino.
Fey:
Yeah! That what are friend supposed to do,
kan?:D
"Yeah.. Friend. Hahaha." Ujar Nino
sambil tertawa lirih.
***
Nino hanya terpaku melihat kertas di hadapan matanya. Berulang kali ia membaca
kertas itu, berulang kali otaknya berputar, berulang kali juga ia memimikirkan
apakah ini keputusan yang paling terbaik. Nino tidak tahu apa yang terbaik
untuknya saat ini. Bertahan atau meninggalkan. Terus berharap atau mencari
orang lain. Terus mencintai tanpa dibalas atau berhenti mencintai. Mengejar
atau berlari menjauh. Tetap pura-pura berbohong atau berusaha jujur. Entahlah,
Nino tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Nino tidak tahu apa keputusan yang
paling terbaik untuk dirinya saat ini.
***
“Ada apa, sih?” Tanya Feyra saat menemui Nino
di kafe dekat komplek rumahnya. Sejam yang lalu Nino mengajaknya bertemu, entah
ada apa tapi hati kecil Feyra mengatakan ada suatu yang ingin dibicarakan Nino.
Walau Nino tidak mengatakannya, tapi Feyra tahu ada hal yang disembunyikan,
entah apa.
Ya, Feyra tahu itu. Dia sudah mengenal Nino
bukan hanya satu atau tiga bulan, tapi tiga tahun.
Nino, sahabat cowok terbaiknya. Seorang
sahabat yang selalu ada saat Feyra membutuhkan teman berbagi. Seseorang yang
selalu melindungi, dan menjaganya layaknya seorang ayah. Seseorang yang akan
mengomel jika terjadi apa-apa pada dirinya, layaknya seorang ibu.
“Lagi banyak duit. Ya itung-itung berbagi amal
kepada orang yang lagi krisis duit, gitu..” Jawab Nino dengan candaan.
Sebenarnya, Nino ingin langsung mengatakan hal yang sebenarnya, tapi lidahnya
seolah-olah kelu dengan kalimat-kalimat yang sudah Nino siapkan dari beberapa
jam lalu.
Feyra hanya memicingkan mata, mencari
kebenaran dari ucapan Nino tadi. Feyra yakin bukan itu tujuan utama Nino. Tapi
Feyra hanya melakukan hal seperti biasanya, mengikuti alur cerita yang sedang
Nino buat.
Dan kali ini Feyra tersenyum, lalu tertawa
memaksa.
“Mau mesen apa, fey?” Tanya Nino berbasa-basi.
“Sama kayak makanan dan minuman lo aja, deh..”
Jawab Feyra sambil melirik pasta fettucini dan vanilla latte milik Nino yang
tinggal setengah.
Kemudian mereka saling terdiam, seolah-seolah
seperti seseorang yang baru pertama kali bertemu. Tidak ada pembicaraan yang
biasanya mengocok perut, tidak ada curhatan perasaan hati, tidak ada candaan
dan ejekan dari satu sama lain. Mereka terlalu sibuk dengan fikirannya
masing-masing.
Ini benar-benar petemuan yang sangat canggung.
Ini kedua kalinya mereka terjebak dalam suasana diam dan canggung, kejadian
pertama adalah saat mereka pertama bertemu, tiga tahun lalu.
Ponsel Feyra berdering, membuat suasana
canggung dan diam tadi menjadi sedikit lebih hidup. Seolah-olah suaranya
memecah keheningan yang daritadi terjadi.
Lekukan di bibir Feyra terbentuk saat sedang
menatap layar ponsel yang tadi berbunyi. Nino hanya memperhatikan sambil
bertanya-tanya ada apa, siapa, dan kenapa.
“Kenapa?” Akhirnya Nino bertanya, rasa
penasarannya semakin memuncak saat melihat mata Feyra berbinar-binar.
“Roy! Dia nanya kan gue lagi dimana, terus gue
jawab. Abis itu dia nanya gue sama siapa, bilang hati-hati, dan gitu deh. Ah,
itu kode bukan sih, No?” Jelas Feyra panjang lebar dengan mata yang
berbinar-binar.
Kali ini Nino menyesal karena tadi dia
bertanya, seharusnya dia tidak menghiraukan rasa penasrannya. Andai saja Nino
bertanya hal lain, pasti kejadian ini tidak akan terjadi, tidak ada rasa sesak
di hati Nino, dan malam ini akan berjalan indah sesuai dengan rencananya.
“Lo yakin itu kode? Jangan terlalu berharap
dengan perhatian seorang cowok macam Roy. Dia ngasih perhatian itu bukan cuma
buat lo, tapi buat cewek-cewek yang lain juga.”
Jawab Nino dengan nada sesinis mungkin. Jika membicarakan sosok seorang
Roy, nada bicara Nino pasti akan berubah menjadi sinis, dingin, dan jutek.
“Kok lo tega sih bilang kayak gitu..” Ujar
Feyra tidak percaya saat mendengar ucapan sinis Nino tadi.
“Sorry-sorry. Gue cuma membicarakan yang
sebenarnya. Gue juga cowok, Fey. Gue tau apa maksud dari si buaya darat itu.”
“Hey! Dia punya nama. Dia bukan buaya darat,
No. Lo kenapa sih gak suka banget sama Roy? Dia salah apa?” Bentak Feyra. Ya,
Feyra membentak Nino hanya karena seorang cowok bernama Roy.
“Banyak salah dia! Dia udah ngerebut lo
dari gue, dia udah ngerebut kebahagiaan gue. Dia udah bikin lo jatuh cinta!
Sementara gue yang lo kenal lebih lama, hanya dianggap angin lalu. Apa lo gak
bisa liat kalau gue ini cemburu, Fey?” Ujar Nino dalam hati. Nino hanya
bisa menumpahkan kekesalannya dalam hati, tidak bisa membentak Feyra langsung.
Dia hanya bisa jujur di dalam hati, mulutnya sudah terlalu terbiasa dengan
kebohongan-kebohongan yang bisa menyenangkan hati Feyra.
“Sebegitu berartikah dia untuk lo, Fey? Sampe
lo ngebentak gue gini.” Tanya Nino.
“Layaknya seseorang yang lo sayang itu, No.
Sebegitu berartinya dia bagi gue.” Jawab Feyra. Jawaban yang seketika
menghancurkan hati Nino, membuat keping-keping di hati Nino hancur dan
membentuk kepingan yang lebih kecil. Menggali luka dalam Nino menjadi lebih
dalam lagi. Dan membuat paru-paru Nino mendadak pasif, terlalu sulit untuk
mengambil nafas, terlalu sesak rasanya.
“Oh, yea. Of course. Hahaha.” Nino memaksakan
tertawa. Tawa yang sangat getir. Tawa yang menyembunyikan rasa sakit dan sesak
dihatinya. Tawa yang dibaliknya ada sebuah kawah luka yang besar dan sangat
dalam.
“Ah, gue jadi mendadak puitis gini kayak lo,
No. Betapa hebatnya virus cinta.. Hahahaha.”
“Eh, lo mau ngomongin apaan, sih?” Tanya Feyra
akhirnya, untunglah ia ingat bahwa dia berada disini karena ada sesuatu hal
yang ingin dibicarakan.
“Gak ada sih. Alesan doang biar lo mau gue
ajak makan disini.” Jawab Nino berbohong, lagi.
Nino sudah yakin dengan keputusannya sekarang.
Nino yakin ini adalah yang paling terbaik bagi dirinya. Keputusannya sudah
bulat, dan akan segera Nino lakukan. Tidak perlu membicarakannya pada Feyra,
karena Nino yakin dibicarakan atau tidak, inilah yang terbaik. Sikap Feyra sudah
menunjukkan bahwa ini memang yang terbaik. Ya, ini keputusan yang akan Nino
ambil.
***
Feyra terbangun dari tidurnya. Tadi malam
sangatlah indah. Bukan, bukan karena di ajak makan oleh Nino, tapi karena Roy
menemaninya mengobrol di BBm hingga larut malam. Ia rela begadang demi bisa
mengobrol lebih panjang dengan Roy.
Seperti biasa, hal yang dilakukan Feyra saat
bangun tidur adalah mengecek ponselnya. Ada 3 notifikasi BBm, semuanya pesan
tidak berguna. Hanya broadcast message, dan promote pin yang tidak terlalu
menarik, tidak ada BBm dari Roy.
Feyra mengecek notifikasi lain. Ada 20
notifikasi email di ponselnya. Rata-rata isinya adalah pemberitahuan dari
notifikasi social netwrok, dan ada slah satu pesan dari seseorang yang menyita
perhatian matanya.
Dibuka email tersebut, dibacanya oleh mata
Feyra secara teliti. Tidak ada satu kata atau kalimat yang mata Feyra lewati,
tapi Feyra tetap membacanya berulang-ulang. Ia masih tidak percaya tentang isi
dari email tadi, tidak percaya bahwa dia-lah yang mengirimkan email ini. Tidak
mungkin isinya seperti ini, Feyra pasti salah membaca atau salah memahami
maknanya. Tidak mungkin bahwa seseorang yang mengirimkan email ini adalah Nino.
Feyra tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tapi inilah kenyataannya.
***
Sementara di seberang sana, Nino sedang duduk
membisu di bangku bandara Soekarno Hatta. Tubuhnya memang ada disini, tapi jiwa
dan raganya seolah-olah masih tertinggal. Ya, hatinya masih tertinggal di
Feyra.
Entah ini keputusan yang benar atau salah. Nino
tidak tahu itu. Apapun itu, Nino harus tetap melangkah. Dia sudah membuat
keputusan ini, dia sudah memutuska untuk bersekolah asrama di Jogja dan akan
melupakan Feyra. Ya, inilah keputusan Nino. Keputusan yang sudah bulat dan
tidak bisa diganggu gugat.
Memang menyakitkan jika harus melangkah jauh
dari Feyra, tapi lebih menyakitkan lagi jika dia melihatnya yang melangkah
jauh.
Entah apakah Nino bisa untuk melupakan dan
meninggalkan Feyra. Nino tidak tahu apakah dirinya akan kuat jika tidak bisa
menghubungi Feyra, tidak bisa mendengar keluh kesah Feyra, tidak bisa menghibur
Feyra saat sedih, tidak bisa membuat Feyra tersenyum, dan tidak bisa berada di
dekat Feyra lagi.
Seberapa menyakitkan perasaan itu, Nino paasti
kuat. Dia sudah merasakan hal yang lebih menyakitkan dari ini, berpura-pura
tidak mencintai Feyra dan membiarkannya bersama orang lain. Itulah hal yang
paling menyakitkan dalam sejarah hidupnya.
Ponsel Nino berdering, nama Feyra muncul di
layar ponselnya.
“Nino, bilang ke gue kalau lo bercanda!”
Teriak Feyra di ujung telepon.
“Gue serius.” Jawab Nino tegas.
“Kenapa? Kenapa lo ninggalin gue, No? Kenapa
lo gak pernah bilang ke gue kalau lo mau pergi? Kenapa lo gak pamit dulu ke
gue? Kenapa lo selalu bohong sama perasaan lo sendiri? Kenapa lo gak pernah
jujur sama gue? Nino.. jawabbb.. jangan tinggalin gue..” Ujar Feyra terisak.
Air mata yang sedari tadi ditahannya mengalir begitu deras.
“Beginikah rasa
sakit yang Nino rasakan?” Pikir Feyra. Ternyata rasanya amat
sangat menyakitkan.
Nino tidak tahan mendengar isak tangis Feyra
di ponselnya. Rasanya begitu menyakitkan membiarkannya menangis tanpa bisa
memeluknya.
“Karena gue gak mau nyakitin lo, Fey. Cukup
gue aja yang ngerasain sakitnya.” Ujar Nino. Ya, hal inilah yang sedari dulu
ingin Nino ucapkan.
“Apa ini gak bisa kita omongin secara
baik-baik? Lo gak pernah kan nanya gimana perasaan gue ke elo? Gue sayang elo ,
No. Gue gak mau kehilangan lo.”
“Ya, sayang sebagai sahabat kan, Fey? Jangan
mengartikan perasaan sudah terbiasa bersama sebagai perasaan sayang, keduanya
sangat berbeda jauh.”
“Tapi gue gak bisa kehilangan lo.. Gue sayang
elo, No..” Ujar Feyra lirih
Nino menghela napas, “karena lo terlalu
terbiasa bersama gue. Seiring dengan perginya gue, elo bakal terbiasa tanpa gue
kok, Fey.”
“Apa ungkapan rasa sayang itu gak cukup, No?
Apa gue harus pergi ke bandara buat ngejar lo? Buat buktiin kalau gue beneran
sayang sama lo?” Tanya Feyra dengan terisak.
“Gak perlu, Fey. Semuanya udah terlambat.
Keputusan gue udah bulat. Jangan bikin gue tambah susah buat pergi dari lo..
gue udah berusaha mati-matian nahan rasa sakit ini. Tolong, jangan ditambah
lagi.”
“Nino! Lo gak boleh pergi! Tunggu gue! Gue
kesana sekarang!”
“It’s too late, Feyra.. keputusan gue udah
bulat. Good bye..”
“Nino, jangan.. tunggu gue.. gue sayang elo..”
“Good bye, Feyra..” Ujar Nino sebelum memutuskan hubungan
telepon.
Feyra kembail terisak, air matanya mengalir
deras. Lubang dihatinya sekarang terbuka lebar. Rasa yang menyakitkan menguasai
tubuh Feyra. Semuanya terasa menyakitkan, seiring dengan Nino mengucapkan
selamat tinggal.
Inikah sakit yang dirasakan Nino? Ya Tuhan..
rasanya begitu amat menyakitkan. Sekarang tidak akan ada lagi tawa Nino yang
akan Feyra dengar, tidak akan ada lagi candaan dan ledekan dari Nino, tidak ada
omelan dan sebuah rasa nyaman yang Nino berikan, tidak ada lagi Nino yang akan
selalu menjaga dan melindungi dirinya, tidak ada lagi Nino.. Tidak ada lagi
seseorang yang baik, pengertian, perhatian seperti Nino..
Yang ada hanyalah sebuah penyesalan yang Feyra
rasakan. Penyesalan karena menyia-nyiakan cinta Nino, penyeselan karena
memebiarkannya melangkah jauh, penyesalan karena tidak pernah memerhatikan
perasaan Nino, penyesalan karena sekarang Nino sudah pergi.
Feyra bukan sahabat yang baik, dia tidak kenal
Nino siapa. Dia tidak tahu, bahwa selama ini Nino memendam perasaan cinta untuk
dirinya.
Satu-satunya kenangan yang paling Nino berikan adalah sebuah pelajaran bahwa
cinta itu tidak perlu dicari, karena dia berada di sekeliling kita, hanya saja
kita yang terlalu membiarkannya dengan mencari orang lain, mengabaikannya
dengan tidak peduli, dan akhirnya cinta itu pun pergi.. lalu penyesalahlah yang
akhirnya kita dapat. Cinta yang tulus tidak perlu dibalas, cukup membuat orang
yang kita cinta bahagia, ya itu seperti yang Nino katakan. Feyra menyesal
karena telah menyia-nyiakan ketulusan Nino.
Feyra membaca sekali lagi email terakhir dari
Nino..
Dear my lovely..
bestfriend,
Hai, fey. Selamat
pagi. Gimana tidur malamnya? Nyenyak? Semoga ya. Semoga lo gak ngalamin
kegalauan akut dan kegelisahan yang bikin lo gak bisa tidur, kayak yang gue
alamain hahaha.
Fey, gue cuma mau
minta maaf. Maaf untuk segalanya. Maaf karena gue belum bisa bikin lo terus bahagia
dan tersenyum, belum bisa jagain lo sepenuhnya, belum bisa ngelindungin hati lo
biar gak terluka. Dan gue minta maaf atas perasaan ini, perasaan sayang yang
gue rasain buat lo, entah sudah sejak kapan.
Saat lo baca ini,
gue udah di bandara atau mungkin udah terbang ke Jogja. Sekali lagi gue minta
maaf, gue gak pernah ngasih tau lo tentang keberangkatan gue ke Jogja, gue
bakal nerusin sekolah disana, Fey. Gue pengen mencoba ngelupain lo, gue udah
gak bisa jadi orang yang selalu bikin lo tersenyum dan nyaman.
Gue udah lelah
bertahan, sekarang saatnya gue pergi. Gue udah lelah mengejar lo, dan sekarang
saatnya gue berlari menjauh. Gue udah lelah mencintai tanpa dibalas, dan
sekarang gue akan berhenti mencintai. Gue lelah berpura-pura baik-baik aja padahal
hati gue sakit. Gue lelah terus bohong tentang perasaan gue, dan sekarang gue
akan jujur. Gue udah mutusin buat menghapus lo dari hati gue, entah gue bisa
atau enggak. Maaf..
Inget ya, Fey.
Gak ada tindakan ceroboh, gak ada keluar malem! Sekarang gue pergi, gue udah
gak bisa jagain dan ngelindungin lo lagi. Jadi tolong jaga diri lo baik-baik..
Selamat tinggal,
Feyra.
With
love,
Nino
0 komentar:
Posting Komentar