Bagaimana keadaanmu nun jauh di sana? Bagaimana kota yang sering kau damba-dambakan itu? Indahkah? Menyenangkan? Selamat.. Akhirnya, kau bisa menjejakkan kakimu sendiri dikota itu. Membayangkan senyummu yang merekah saat pertama kali menjejakkan kaki di kota itu, rasanya ingin sekali aku berada disampingmu, berbagi senyum dan kebahagiaan.
Bangga sekali aku mendengar berita tentang kesuksesanmu itu, akhirnya kau tinggal beberapa langkah lagi untuk menjadikan mimpimu menjadi kenyataan. Aku tahu, sejak awal, sejak malam itu, saat kau berbagi impianmu padaku, aku yakin, kau pasti akan berhasil mencapainya suatu saat kelak. Dan, Tuhan Maha Baik, Dia mengabulkannya saat ini. Betapa aku ingin berterimakasih pada Tuhan, karena telah membuat mimpi seseorang yang begitu berharga bagiku menjadi bukan sekedar angan-angan lagi, karena sebentar lagi kau dapat mencapainya. Betapa aku bersyukur pada-Nya, karena dapat menyaksikanmu begitu bahagia.
Walau disini, aku harus menahan tangis karena kepergianmu. Tidak, seharusnya aku tak menangis, seharusnya aku turut bahagia karena pria yang kucintai sedang menjadikan mimpinya menjadi nyata. Namun bagaimana caranya aku bisa bahagia, saat dada ini begitu sesak, saat tiba-tiba relung hatiku dipenuhi oleh beribu-ribu luka yang tumbuh seiring perginya dirimu? Bagaimana caranya aku bisa bernafas lega saat lubang-lubang menganga itu tiba-tiba datang seiringnya hilangnya kamu dari penglihatanku?
Beritahu aku, bagiamana caranya? Ini terlalu sulit untuk kujalani sendirian. Lukanya begitu besar untuk ku obati seorang diri. Aku tak yakin bisa melakukan hal itu. Aku butuh dirimu, seperti dulu.
Ingin rasanya saat itu aku mencegahmu untuk pergi. Ingin rasanya aku berteriak menyuruhmu untuk tetap tinggal. Ingin rasanya aku memelukmu dan tak akan melepaskan pelukan itu. Ingin rasanya aku menahanmu untuk tetap selalu berada disini, bersamaku.
Tapi aku tidak bisa menjadi orang se-egois itu, aku tidak bisa menahanmu untuk pergi, aku bahkan tidak berkata apa-apa, apalagi memelukmu, aku sampai tak berani karena takut tak dapat melepasnya lagi, dan aku malah bersembunyi dalam tidurku, memaksa diriku sendiri lupa akan jadwal kepergianmu saat itu, membuat diriku sendiri terlelap dalam mimpi dan berharap dapat melupakanmu sejak saat itu.. tapi hingga saat ini pun, sejak satu bulan kepergianmu, kau masih tetap menjadi orang nomor satu dalam pikiranku, menjadi orang nomor satu yang mengisi relung hatiku.
Kupikir, saat itu, seiring dengan berjalannya waktu, aku dapat mengenyahkan bayanganmu dari hidupku. Namun ternyata, bayanganmu selalu berada di bawah telapak kakiku, mengikutiku kemanapun kakiku melangkah, dan membuat hatiku tertohok setiap aku menengok kebawah, aku melihat bayanganmu disana.. Dan seketika itu juga, kenangan langsung membanjiri mataku seiring dengan tersusunnya puzzle kenangan bersama dirimu dulu.
Terkadang, saat sedang sakit-sakitnya aku karena begitu merindukanmu, aku ingin sekali meminta Tuhan membawamu kembali padaku, tapi aku tahu, dengan harapanku yang konyol itu, aku bisa merusak mimpimu kapan saja, dan menghalangimu untuk bahagia.
Saat aku berfikir seperti itu.. Aku merasa jahat sekali karena ingin menghancurkan mimpimu demi sembuhnya luka dihatiku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa membiarkan dirimu menderita karena mimpimu hangus, pun aku tak bisa membiarkan diriku menderita karena ditinggal dirimu.
Aku egois sekali, ya? Maaf, hatiku terlalu merindukanmu. Tapi tenang saja.. semua itu hanya sebuah harapan yang tidak akan pernah aku sebut dalam doaku, karena aku tak akan pernah merusak kebahagianmu, walau hatiku menjerit sakit menginginkamu disini.
Namun mirisnya diriku.. I wish for someone happiness who never wish for mine. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan, apa pernah sebentar saja diriku terlintas dalam pikiranmu sesering dirimu yang terlintas dalam pikiranku? Apa pernah kau menyebut namaku dan kebahagiaan dalam satu doa? Apa pernah kau mengharapkan aku bahagia sebesar aku mengharapkan kau bahagia?
I guess.. No. Because you already forget me here. Aku tahu itu, tapi aku masih saja membumbui hatiku kebohongan indah bahwa mungkin kau akan mengingatku sesekali dalam keseharianmu, sama seperti apa yang aku lakukan sejak kau tinggal pergi begitu saja.
Seharusnya aku berhenti menulis surat yang tak akan pernah kau baca ini. Seharusnya aku menghentikan jemariku untuk menghidupkan kata-kata untukmu. Seharusnya aku benturkan kepalaku, agar aku lupa akan dirimu. Seharusnya juga aku maki hatiku agar berhenti menulis namamu disana. Dan seharusnya aku menghentikan cerita satu arah ini. Seharusnya aku tancapkan saja pisau pada paragraf yang ingin aku tulis! Agar semuanya berhenti, agar semuanya berakhir, agar tak ada lagi kita dalam bayanganku, agar tak ada lagi aku yang terluka.
Namun, pisau itu tidak aku tancapkan pada paragraf tentang kita, aku malah menancapkannya pada hatiku yang sudah terluka.
Aku mungkin bisa menghentikan jemariku menulis semua tentang dirimu, tapi aku tak mungkin bisa menghentikan hatiku untuk tetap mencintaimu, pun menyingkirkan segala kenangan tentang mu dari ruang otakku.
Pernah sesekali aku berdoa pada Tuhan agar kau merasakan sesakit apa rasanya saat kau harus berurusan dengan kata kehilangan, namun bukannya kata amin yang kuucap kemudian, aku malah memaki kebodohanku, dan berharap Tuhan saat itu sedang sibuk sehingga tidak mendengar doa bodohku tadi, lantas ku ganti doa itu agar kau selalu bahagia, dan semoga kehilangan tak pernah mengendus keberadaanmu.
Karena.. aku tak bisa membayangkan, dan tak ingin membayangkan, jika harus melihatmu seperti apa yang aku lihat setiap hari dicermin kamarku, hancur, berantakan, dan begitu menyedihkan.
Maka, sekali lagi, aku berdoa pada Tuhan agar bahagia selalu mengiringi hidupmu.
Dan, aku berdoa pada Tuhan, agar sosok dalam cermin kamarku itu diberi kekuatan dan kesabaran untuk mengobati lukanya seorang diri.
Sudah pukul 1 pagi, hari sudah berganti, dan jarum jam seolah-olah memelototiku untuk segera terpejam. Maka, inilah akhir surat yang bukan surat terakhirku untukmu, mungkin masih akan ada surat-surat lain, yang akan kutulis jika aku merindukanmu kembali.
Dan.. Kuakhiri surat ini dengan tetesan terakhir air dari mataku. Selamat malam, semoga kau bisa merasakan doa yang kupanjatkan segera menjadi kenyataan.
hingga kini dan segalanya masih tentang kamu.
P.S: kudengar di kotamu pada bulan Oktober nanti suhu dingin diperkirakan akan menginjak 16 derajat Celcius. Aku tahu itu masih 2 bulan yang akan datang. Tapi khawatir aku tak dapat mengingatkanmu lagi, maka ku ingatkan saja sekarang. Jangan lupa untuk menggunakan jaket yang pernah ku berikan untuk kado ulangtahunmu dulu, ya? Itupun jika kau masih menyimpannya. Jika tidak, ya kau pakailah pakaian yang dapat membuatmu hangat. Aku tak ingin mendengar kabar buruk tentangmu karena menggigil hebat atau hal semacamnya. Karena tak akan ada lagi pelukanku yang dapat menghangatkanmu, walau begitu, aku akan selalu menghantarkan doa agar menjagamu selalu sehat. Aku disini amat merindukanmu. Cepatlah kau capai dan jadikan mimpimu menjadi benar-benar nyata. Dan jaga dirimu baik-baik, kepala batu.